Pemerintah menyatakan usulan memajukan pelaksanaan Pilkada didasari atas potensi kekosongan jabatan kepala daerah pada 1 Januari 2025.
Pemerintah mengusulkan menggeser pelaksanaan Pilkada 2024 dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Dari argumentasi yang disampaikan Pemerintah, semestinya penyelesaian persoalan tersebut bisa ditempuh dengan proses legislasi biasa melalui DPR. Hal tersebut yang menjadi janggal dan menimbulkan banyak pertanyaan.
Kegentingan tidak terpenuhi
Wacana pembentukan Perppu Pilkada tanpa alasan yang jelas dapat dianggap tidak beralasan. Perppu merupakan instrumen yang seharusnya digunakan dalam situasi kegentingan yang membutuhkan tindakan cepat dan darurat yang tidak dapat ditangani melalui proses legislatif biasa.
Melihat kembali Putusan MK 138/PUU-VII/2009, setidaknya Perppu harus memenuhi 3 (tiga) syarat utama, yaitu adanya keadaan mendesak, terdapat kekosongan hukum, dan kekosongan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa.
Dengan jadwal pelaksanaan Pilkada yang telah disusun sebelumnya, menandakan tidak ada kegentingan yang hadir dalam persoalan Pilkada ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa argumentasi Pemerintah merupakan kegentingan yang dipaksakan dan tidak memenuhi syarat pembentukan Perppu.
Bukti buruknya perencanaan
Selama Jokowi menjabat Presiden sudah ada 8 (delapan) Perppu yang dibentuk. Perppu yang dimaksud, yakni Perppu Tipikor, Perppu Perlindungan Anak, Perppu Kepentingan Pajak, Perppu Ormas, Perppu Kebijakan Keuangan di Masa Pandemi, Perppu Pilkada, Perppu Pemilu, dan Perppu Ciptaker.
Dari tinjauan teoritis, Perppu bukan merupakan “barang haram”, namun presiden perlu bijak dalam mengeluarkan Perppu, sebab merupakan hak prerogatif presiden tanpa membutuhkan persetujuan pihak lain.
Mencermati lebih dalam, selama kepemimpinan Presiden Jokowi sudah ada 2 (dua) Perppu yang berkaitan dengan Pemilu dan Pilkada.
Setidaknya dapat dikatakan bahwa Pemerintah dan DPR tidak memiliki perencanaan yang matang dari segi kaca mata legislasi.
Terlebih dengan wacana yang hari ini hadir mengenai potensi kekosongan jabatan kepala daerah pada 1 Januari 2025, yang sebetulnya dapat diprediksi dan dipetakan dari jauh-jauh hari.
Dengan demikian, seyogyanya bisa direspons dengan membentuk regulasi yang dapat menjawab potensi tersebut.
Pilihan untuk menerbitkan Perppu Pilkada dalam kondisi ini sungguh tidak bijak. Wacana seperti ini bisa menggambarkan situasi politik yang diarahkan untuk kepentingan tertentu, yang dapat menciptakan ketidakstabilan dalam sistem politik.
Penting bagi pemerintah untuk menjalani proses legislatif yang sesuai dan menghormati mekanisme demokratis, termasuk konsultasi dengan parlemen dan masyarakat, sebelum mengambil langkah-langkah yang sedemikian besar seperti menerbitkan Perppu.
Dengan demikian, penerbitan Perppu dalam konteks pilkada yang tidak memenuhi syarat pembentukan dapat merusak tatanan demokrasi dan merugikan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi yang sangat penting dalam pemerintahan yang sehat.
UU Pilkada perlu evaluasi menyeluruh
Periode pasca-Pilkada 2024 adalah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap UU Pilkada.
Evaluasi ini sangat penting untuk memastikan bahwa UU Pilkada dapat memenuhi standar demokratis yang diinginkan dalam sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Selain itu, evaluasi ini juga harus memperhatikan sejumlah isu penting yang memengaruhi proses pilkada, sehingga dapat memastikan perlunya perubahan dan penyesuaian yang sesuai.
Salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian adalah penyesuaian dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menguji beberapa pasal dalam UU Pilkada.
Dalam memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konstitusi, perubahan atau klarifikasi dalam UU Pilkada dapat diperlukan untuk menghindari konflik hukum pada masa mendatang.
Selain itu, konsep keserentakan pemilihan kepala daerah juga merupakan isu yang relevan untuk disesuaikan di UU Pilkada yang baru.
Oleh karena itu, UU Pilkada perlu mengatur secara jelas mengenai implementasi keserentakan tersebut.
Selain itu, UU Pilkada harus memberikan kerangka hukum yang jelas dan pasti bagi siapa yang berwenang menangani sengketa hasil Pilkada.
Menurut UU Pilkada, MK bukan lembaga definitif yang berwenang menangani sengketa hasil Pilkada. Pembentuk UU harus membentuk lembaga peradilan khusus yang sayangnya sampai detik ini lembaga tersebut tidak pernah terwujud.
Dengan menjalani evaluasi menyeluruh dan mengatasi isu-isu tersebut, hadirnya UU Pilkada yang ideal dapat memberikan landasan hukum kuat dan menjadikan pemilihan kepala daerah lebih akuntabel, berkualitas, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/27/05392021/wacana-perppu-pilkada-tidak-beralasan