Rencana ini akan diwujudkan pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pilkada, yang usulnya telah dipaparkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI, Rabu (20/9/2023).
Mereka menganggap, argumentasi pemerintah tidak memadai dan rencana ini terkesan sebagai proyek eksperimental yang tak terukur.
"Penetapan 27 November itu sudah kita bahas dengan cermat. Sekarang mau digeser dari November ke September. Kalau saya lihat, argumentasinya itu tidak terlalu logis," kata anggota fraksi PDI-P, Cornelis, dalam rapat tersebut.
Ia menambahkan, saat ini tidak ada kegentingan memaksa yang bisa dijadikan alasan kuat menerbitkan perppu guna mempercepat pilkada.
"Jadi nggak ngerti saya apa maunya negara ini. Apa kita mau main coba-coba. Kalau memang keadaan darurat, mau dipercepat, kami pun sebenarnya tidak ada masalah," kata Cornelis.
"Negara kita ini dalam keadaan biasa-biasa saja. Jangan terlalu kita berpikir tidak aman, takut tidak aman," tambahnya.
Anggota fraksi Partai Demokrat, Mohammad Muraz, menyoroti akan terjadinya tubrukan tahapan krusial Pemilu 2024 dengan Pilkada 2024, terlebih apabila pelaksanaan pilpres berlangsung dua putaran hingga Juli 2024.
Beban kerja berlebih dikhawatirkan akan melanda KPU daerah, padahal tak sedikit jajaran KPU di daerah merupakan komisioner yang baru saja terpilih hasil rekrutmen tahun ini.
"Irisan itu jangan sampai memberatkan KPU karena kita ingin pemilu yang berkualitas," kata dia.
"Dari segi keamanan dan lain-lain kita nyaman-nyaman saja, tidak ada kegentingan yang memaksa. Namun kalau itu dipaksakan, KPU dan Bawaslu menyatakan siap, kita tidak tahu hasilnya seperti apa, barangkali coba-coba kita," ungkap Muraz.
Sementara itu, perwakilan fraksi PKB, Mohammad Toha, menyatakan bahwa partainya setuju dengan usul pemerintah, dengan catatan bahwa seluruh pihak harus membuat simulasi percepatan Pilkada 2024 ke bulan September.
Simulasi itu meliputi pendaftaran, proses pencalonan, sengketa, kampanye, hingga pemungutan suara dan pelantikan kepala daerah terpilih.
"Mohon simulasikan agar kita bisa membayangkan itu," ucap Toha.
"KPU ini mengerjakan tugas berdasarkan undang-undang. Kalau ada perubahan undang-undang terkait pilkada, tentu kami akan menyelenggarakan pilkada sesuai dengan perubahan undang-undang tersebut," ujar Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari yang hadir di dalam rapat kerja itu, Rabu tengah malam.
Senada, Bawaslu RI juga menyatakan hal yang sama, bahwa mereka adalah penyelenggara pemilu yang bekerja melaksanakan undang-undang yang ada.
"Kami mengikuti apa yang diputuskan, namun ada beberapa catatan yang harus dipenuhi," kata anggota Bawaslu RI, Herwyn JH Malonda, dalam kesempatan yang sama.
Herwyn menyoroti soal proses penyelesaian sengketa hasil pemilu yang harus dipercepat supaya tidak bertubrukan dengan tahapan pilkada.
Ia juga menyoroti potensi kerawanan dari segi perbantuan personel keamanan dan produkssi serta distribusi logistik yang terpaksa dilakukan dalan waktu yang sangat singkat karena jarak antara pemilu dengan pilkada semakin pendek.
Lalu, Herwyn juga menyinggung perlunya penambahan honorarium bagi pengawas pemilu ataupun menambah jumlah pengawas itu sendiri.
Dalam pemaparannya, Mendagri Tito mengeklaim bahwa UU Pilkada mengamanatkan keserentakan pelantikan pejabat di daerah, baik legislatif maupun eksekutif, pada tahun yang sama.
UU itu juga dianggap mengamanatkan supaya pelantikan pejabat daerah dilakukan pada tahun yang sama dengan pejabat di tingkat pusat.
Tito menilai, keserentakan itu akan merapikan tata kelola pemerintahan dari pusat sampai daerah yang selama ini dianggap tidak sinkron karena masa jabatan yang tidak serentak dan bervariasi.
Ia memberi contoh bahwa kota/kabupaten dalam provinsi yang sama bisa jadi mempunyai Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang tak sinkron satu sama lain karena tak didesain serentak.
Begitu pula, provinsi di pulau yang sama juga berlainan RPJMD-nya dan tak saling menopang. Belum lagi membandingkannya dengan RPJM tingkat nasional yang boleh jadi juga tak sama.
Tito beranggapan bahwa situasi ini menghambat pembangunan nasional, karena banyak proyek strategis tak dieksekusi dengan baik lantaran perbedaan di tingkat daerah tadi.
Ia memberi contoh, proyek strategis nasional pembangunan jalan tol bisa jadi tak berjalan mulus karena tak dibarengi penyediaan jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota yang dirancang menunjang keberadaan tol tersebut.
Di samping itu, jika pilkada tak dipercepat, pemerintah khawatir pada 2025 nanti ada 545 daerah yang akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah yang notabene bukan jabatan definitif.
Sebab, menurut UU Pilkada, tak ada lagi kepala daerah definitif setelah 31 Desember 2024. Penjabat kepala daerah tak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dan kebijakan strategis.
Menurut Tito, hal-hal tadi sudah memenuhi unsur kemendesakan yang menjadi prasyarat terbitnya perppu.
Untuk memuluskan percepatan pilkada, pemerintah mengusulkan agar masa kampanye calon kepala daerah dibatasi hanya 30 hari, sedangkan proses sengketa pencalonan hanya 53 hari tanpa dibolehkan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Usul ini juga jadi polemik sebab itu berarti KPU hanya punya waktu 1-2 bulan untuk memproduksi dan mendistribusikan logistik Pilkada 2024, sedangkan Bawaslu harus kejar tayang menyelidiki dan menyidangkan sengketa pencalonan.
Sebagai perbandingan, pada Pilkada 2020, masa kampanye berlangsung selama 71 hari, yakni 11 Juli-19 September 2020. Sementara itu, masa kampanye Pilkada 2015 berlangsung 81 hari.
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/21/21590951/kritik-pemerintah-sejumlah-anggota-dpr-nilai-percepatan-pilkada-proyek-coba