Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, jika alat bukti sudah cukup maka pihaknya segera melakukan gelar perkara atau ekspose.
Meski demikian, kata Alex, kapan dilakukannya gelar perkara tergantung oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu.
“Tergantung Pak Asep-lah, kalau bukti cukup tidak lama-lamakan (menggelar ekspose),” ujar Alex kepada wartawan, Jumat (18/8/2023).
Sejauh ini, KPK menyebut, kasus Eko Darmanto masih dalam tahap penyelidikan. Tim penyelidik masih mencari ada atau tidaknya peristiwa pidana dan alat bukti.
Setelah ditemukan alat bukti yang cukup, KPK akan meningkatkan perkara itu ke tahap penyidikan. Pada tahap ini, sudah ditetapkan pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
“Yang jelas telah diselidiki dari laporan masyarakat dari keterangan saksi yang dipanggil,” ujar Alex.
Sebelumnya, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, kasus dugaan korupsi Eko Darmanto sudah memasuki tahap akhir.
Menurut Asep, tim penyelidik akan membeberkan temuan mereka dalam gelar perkara.
“Ya, jadi kan ada tahap pengakhiran. Di tahap ini juga ada, kita ada yg namanya gelar perkara, ekspose. Jadi ekspose ini yang nanti ditentukan,” kata Asep kepada wartawan, Selasa (15/8/2023).
Namun, Asep enggan mengungkap kapan kasus Eko Darmanto itu akan dibawa ke ekspose.
Ia hanya membenarkan perkara yang saat ini membayangi Eko terkait dugaan penerimaan gratifikasi.
“Di antaranya begitu (gratifikasi),” tutur Asep.
Untuk diketahui, penyelidikan Eko Darmanto berawal dari pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan menyebut LHKPN Eko masuk dalam kategori outlier atau menyimpang.
Seperti beberapa pejabat lainnya, kekayaan Eko diperiksa KPK karena ia memamerkan sejumlah mobil antik di media sosial.
Kekayaan Eko yang dilaporkan sebesar Rp 6.720.864.39.
Namun, laporan kekayaan itu menjadi mencurigakan karena utangnya melonjak secara signifikan, yakni Rp 9.018.740.000.
Utang Rp 9 miliar itu dinilai tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai aparatur sipil negara (ASN) dengan penghasilan Rp 500 juta per tahun.
“LHKPN Beliau (Eko Darmanto) masuk kategori outlier karena utangnya yang besar Rp 9 miliar," kata Pahala dalam konferensi pers di KPK, Rabu (8/3/2023).
“Saham ini dicatat di surat berharga tapi perusahaan ini sebenarnya kalau ada pekerjaan, butuh dana, maka beliau yang akan menyediakan dananya," kata Pahala.
"Untuk itu, beliau buka kredit, kalau kita bilang overdraft. Jadi kredit Rp 7 miliar jaminannya rumahnya. Kalau butuh uang, diambil seperlunya, kalau enggak butuh, ya 0 saja. Tetapi, karena overdraft-nya Rp 7 miliar, beliau catat di LHKPN utang Rp 7 miliar, jaminan rumah. Itu yang bikin utangnya tinggi. Menurut Beliau itu," ujarnya lagi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/18/11380091/soal-kasus-kepala-bea-cukai-yogyakarta-kpk-segera-gelar-perkara-jika-bukti