Dalam hasil riset yang belum satu minggu diterbitkan, ICJR menyebut, ada lebih dari satu intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada para saksi dan korban kasus tersebut.
"Nyatanya, dalam kasus Kanjuruhan, para saksi dan korban beserta keluarganya bahkan tenaga kesehatan yang ditugaskan menangani saksi korban kanjuruhan juga mendapat ancaman dan intimidasi dengan berbagai jenis ancaman dengan berbagai medium," tulis hasil riset tersebut dikutip Kompas.com, Jumat (30/6/2023).
Intimidasi pertama berupa dugaan penyitaan ilegal oleh penyidik yang tercatat pada Senin, 3 Oktober 2022 atau dua hari setelah tragedi terjadi.
Sekitar pukul 14.00 WIB, korban berinisial A didatangi oleh empat orang berpakaian preman dengan dua mobil.
Korban berinisial A diminta nomor telepon, KTP, dan dibawa ke Polres Kabupaten Malang.
"Selama perjalanan, A tidak mengalami kekerasan. Di Polres, A diperiksa sejak pukul 16.00 hingga 18.00 sebagai saksi atas perkara pasal 359 dan pasal 360. Setelah pemeriksaan, A diperbolehkan pulang dan sementara telepon genggamnya dipinjam untuk transmisi oleh penyidik," tulis laporan ICJR.
Intimidasi kedua dialami tenaga medis yang terjadi saat melakukan evakuasi korban.
Tenaga kesehatan yang diberi inisial B menggunakan ambulans saat evakuasi tetapi dihalangi oleh kendaraan aparat keamanan sehingga membuat pergerakan mereka terhambat ke rumah sakit.
"Beberapa hari setelah peristiwa itu, B beberapa kali diikuti oleh orang yang tidak dikenal dengan menggunakan sepeda motor Yamaha RX-King dengan menggunakan jaket ojek online," tulis ICJR.
Berikutnya, datang dari orangtua korban jiwa dengan almarhum anaknya berinisial E.
Setelah memberikan kesaksian, kedua ban belakang mobil orangtua korban ini dilumuri oleh grase dan oli oleh orang tidak dikenal.
Orangtua korban yang bersaksi ini juga sempat hendak ditabrak oleh orang yang tidak dikenal.
Tidak hanya itu, ketua RT tempat saksi tinggal juga menyebut, ada tiga unit sepeda motor dengan jumlah lima orang sering terlihat di dekat rumah orangtua korban yang bersaksi.
Intimidasi yang paling santer terdengar adalah kisah Devi Athok, ayah korban tragedi kanjuruhan yang mengajukan otopsi kedua putrinya.
Devi Athok beberapa kali mendapat ancaman, didatangi berkali-kali oleh kepolisian dnegan pesan tidak meneruskan keinginan jika tidak, keluarganya mungkin tidak selamat.
Terakhir, Intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian kepada keluarga korban yang berpendapat atas putusan sidang kanjuruhan.
Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan merupakan tragedi sepakbola di Indonesia yang merenggut 134 korban jiwa akibat lontaran gas air mata petugas kepolisian.
Tragedi itu terjadi ketika laga Persebaya versus Arema Malang di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Usai laga, beberapa suporter Arema turun ke tengah lapangan. Kemudian, para suporter dihujani tembakan gas air mata oleh petugas.
Demikian juga para penonton yang masih berada di atas tribun.
Mereka turut dihujani tembakan gas air mata sehingga penonton panik ingin keluar stadion.
Nahas, beberapa pintu stadion terkunci menimbulkan kepanikan yang lebih besar. Akibatnya, tak sedikit penonton yang meninggal dunia dalam peristiwa ini.
Vonis ringan para pelaku
Lima terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan telah menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (16/3/2023).
Lima terdakwa itu yakni mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, mantan Danki Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, mantan Security Officer Suko Sutrisno, dan mantan Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Arema FC Abdul Haris.
Sementara itu, tiga terdakwa lainnya divonis ringan yaitu Hasdarman dengan penjara 1 tahun 6 bulan.
Kemudian, Suko Sutrisno divonis 1 tahun, dan Abdul Haris mendapat vonis 1 tahun 6 bulan penjara.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/30/22205131/icjr-ungkap-dugaan-intimidasi-saksi-korban-tragedi-kanjuruhan