Salin Artikel

Suara Pemilih Tidak Gratis

Begitulah tesis antropolog Marcel Mauss tentang bentuk dan fungsi pertukaran di masyarakat kuna.

Meski kuna, untuk urusan tertentu, tesis tersebut masih berlaku hingga sekarang. Urusan yang dimaksud termasuk pemilihan umum (pemilu). Menurut saya, urusan pemilu mestinya berlaku prinsip pemberian timbal-balik.

Namun, rupanya prinsip tersebut telah mengalami pergeseran makna. Kini timbal-balik itu cenderung transaksional dalam hukum pasar. Jadilah politik uang, politik "wani pira" (berani berapa).

Politik uang tentu saja merisaukan. Patut menjadi perhatian serius kita semua. Yang tak lama lagi menggelar Pemilu 2024.

Berkaca dari dua pemilu sebelumnya, politik uang -- di lapangan saya menemukan istilah "ngebom" (membom), yang menunjuk pada kegiatan bagi-bagi uang/barang kepada khalayak saat musim kampanye atau waktu lain untuk memengaruhi calon pemilih -- dilakukan tanpa malu-malu. Bahkan, terkesan vulgar dan kasar.

Pemilu sebagai jalan demokrasi menuju kebaikan bersama bisa tersesat gara-gara perlombaan "ngebom".

Kesetaraan nilai

Studi Marcel Mauss yang sudah tergolong klasik itu mengemukakan bahwa ada harapan-harapan di balik pemberian, yang melibatkan kehormatan si pemberi dan si penerima.

Karena nilai kehormatan tersebut, sesuatu yang diberikan sebagai imbalan harus setara dengan yang diterima. Ada kesetaraan nilai bagi kedua belah pihak. Inilah prinsip pemberian timbal-balik.

Kesetaraan nilai itu esensial antara pemilih dan yang dipilih. Pemilu adalah momen ketika rakyat memberikan suara kepada calon pemimpin politik, suatu prosedur standar praktik demokrasi. Mestinya terdapat pula prinsip pemberian timbal-balik.

Namun, tampaknya kita sedang tersesat pada pemaknaan secara sempit dan konyol. Pemberian timbal-balik dimaknai secara harafiah dalam mekanisme pasar yang pragmatis.

Calon memberikan sejumlah uang atau barang, lalu mendapatkan suara dari pemilih. Dari sudut pemilih, mereka memberikan suara, lalu mendapatkan imbalan sejumlah uang atau barang dari calon.

Pemberian timbal-balik terdegradasi semata-mata jual-beli. Tak ada lagi nilai kehormatan.

Saya melihat hal itu bukan urusan sistem pemilu, melainkan kultur politik. Sistem hanya mengatur subjek (pelaku).

Dengan sistem proporsional terbuka seperti pada pemilu 2014 dan 2019, subjek meluas. Sementara itu, dengan sistem proporsional tertutup (memilih parpol), subjek menyempit.

Begitu pula pemilihan presiden/gubernur/bupati. Dengan sistem pemilihan tak langsung seperti dulu, subjek menyempit, yaitu calon dan anggota MPR/DPRD.

Dengan sistem pemilihan langsung sekarang ini subjek meluas, yaitu calon dan rakyat secara langsung. Ternyata pergeseran subjek tidak mengubah pemaknaan. Perubahan sistem pemilu tak mengubah kultur politik.

Pendidikan Politik

Konstruksi makna pemberian timbal-balik dalam pemilu sesungguhnya merupakan inti pendidikan politik demokrasi.

Membangun pemahaman bersama rakyat tentang hakikat dukungan suara dalam pemilu demokratis wajib dijalankan. Di sinilah subjek-subjek (calon dan rakyat) bertemu. Mereka merumuskan gagasan-gagasan.

Memang ada pertukaran, tapi yang dipertukarkan gagasan-gagasan, nilai-nilai substantif. Secara institusional parpol lah subjek utamanya melalui kader-kadernya.

Kita memilih demokrasi agar kekuasaan dapat diwajibkan terbuka dan bertanggung jawab. Agar kekuasaan diselenggarakan untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini parpol adalah soko guru, pilar utama.

Maka, ujung kegiatan parpol adalah kekuasaan. Melalui kekuasaan itulah diatur pendistribusian kesejahteraan-kemakmuran kepada segenap warga masyarakat.

Dengan kekuasaan itu pula tata kehidupan yang menjamin kebaikan bersama dibangun.

Kekuasaan demokratis membutuhkan dukungan rakyat melalui pemilu. Maka, politik demokrasi mestinya “membangun dukungan", bukan “membeli dukungan".

Ada benang merah yang jelas dengan prinsip pemberian timbal-balik pada masyarakat kuna. Calon pemimpin yang mendapatkan dukungan rakyat “berhutang” kepada rakyat. Mereka harus “melunasi” melalui kebijakan yang membela dan menguntungkan rakyat.

Ada nilai kehormatan yang dijunjung tinggi dan dijaga bersama. Suara rakyat tidak gratis, tapi ditukar dengan kebijakan-kebijakan.

Suara pemilih dalam pemilu adalah manifestasi kedirian seorang warga negara. Di sana ada “jiwa-raga” (dimensi manusia seutuhnya), yang membutuhkan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam wujud sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Suara “berjiwa-raga” itu tentu saja tidak bisa direduksi dan dikonversi secara material belaka. Suara “berjiwa-raga” hanya setara dengan kehidupan menyeluruh, yakni kehidupan yang menjamin terpenuhinya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara keseluruhan.

Jaminan kesejahteraan dan kemakmuran secara menyeluruh itulah yang dijanjikan demokrasi. Semestinya juga menjadi acuan bersama dalam pemilu sebagai jalan demokrasi.

Namun, sejauh ini pendidikan politik tak terurus dengan baik. Pemaknaan pemberian timbal-balik antara pemilih dan yang dipilih dibiarkan terus mengikuti pragmatisme pasar. Rakyat didekati (dibutuhkan) hanya menjelang pemilu dengan prinsip jual-beli.

Tak ada ikatan nilai apapun. Tak ada hutang apapun. Dengan prinsip jual-beli urusan pemilih dan yang dipilih lunas saat pemilu selesai.

Ketiadaan pendidikan politik juga ditunjukkan oleh kecenderungan “aji mumpung” calon setelah terpilih. Mereka tidak lagi berurusan dengan kehormatan diri dan rakyat yang telah memberikan suara.

Tak ada lagi imbalan yang melibatkan nilai kehormatan. Calon terpilih bisa bertindak sesukanya.

Kekuasaan tidak digayagunakan buat kesejahteraan-kemakmuran rakyat, tapi untuk kenikmatan sendiri.

Korupsi pun merajalela dan menggila justru saat kita mengklaim sukses menggelar pemilu demokratis, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden langsung.

Saat kemiskinan melilit sebagian besar rakyat yang tanpa pendidikan politik, prinsip pemberian timbal-balik akan mudah digantikan prinsip jual-beli.

Rakyat datang sebagai penjual untuk mendapatkan untung sesaat, meski hanya recehan. Calon datang sebagai pembeli, lalu pergi. Di lingkungan seperti ini perlombaan "ngebom" terjadi.

Bagaimana mungkin demokrasi ditegakkan melalui perlombaan "ngebom", politik uang? Bagaimana mungkin parpol menjadi pilar demokrasi kalau pendidikan politik tidak diurus serius?

Tidaklah mungkin demokrasi sebagai jalan menuju kebaikan bersama ditegakkan di atas landasan pragmatisme pasar yang rapuh. Sebuah tantangan serius bagi Pemilu 2024, yang tinggal beberapa bulan lagi.

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/30/13323331/suara-pemilih-tidak-gratis

Terkini Lainnya

KPK Sita 13 Lahan Milik Terpidana Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101

KPK Sita 13 Lahan Milik Terpidana Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101

Nasional
Baleg Bantah Kebut Revisi UU Kementerian Negara hingga UU TNI untuk Kepentingan Pemerintahan Prabowo

Baleg Bantah Kebut Revisi UU Kementerian Negara hingga UU TNI untuk Kepentingan Pemerintahan Prabowo

Nasional
Gerindra Siapkan Keponakan Prabowo Maju Pilkada Jakarta

Gerindra Siapkan Keponakan Prabowo Maju Pilkada Jakarta

Nasional
Demokrat Beri 3 Catatan ke Pemerintah Terkait Program Tapera

Demokrat Beri 3 Catatan ke Pemerintah Terkait Program Tapera

Nasional
PKB Keluarkan Rekomendasi Nama Bakal Calon Gubernur pada Akhir Juli

PKB Keluarkan Rekomendasi Nama Bakal Calon Gubernur pada Akhir Juli

Nasional
PDI-P Hadapi Masa Sulit Dianggap Momen Puan dan Prananda Asah Diri buat Regenerasi

PDI-P Hadapi Masa Sulit Dianggap Momen Puan dan Prananda Asah Diri buat Regenerasi

Nasional
Risma Minta Lansia Penerima Bantuan Renovasi Rumah Tak Ditagih Biaya Listrik

Risma Minta Lansia Penerima Bantuan Renovasi Rumah Tak Ditagih Biaya Listrik

Nasional
Tak Bisa Selamanya Bergantung ke Megawati, PDI-P Mesti Mulai Proses Regenerasi

Tak Bisa Selamanya Bergantung ke Megawati, PDI-P Mesti Mulai Proses Regenerasi

Nasional
Fraksi PDI-P Bakal Komunikasi dengan Fraksi Lain untuk Tolak Revisi UU MK

Fraksi PDI-P Bakal Komunikasi dengan Fraksi Lain untuk Tolak Revisi UU MK

Nasional
Jaksa KPK Hadirkan Sahroni dan Indira Chunda Thita dalam Sidang SYL Pekan Depan

Jaksa KPK Hadirkan Sahroni dan Indira Chunda Thita dalam Sidang SYL Pekan Depan

Nasional
Ketua MPR Setuju Kementerian PUPR Dipisah di Kabinet Prabowo

Ketua MPR Setuju Kementerian PUPR Dipisah di Kabinet Prabowo

Nasional
Baznas Tegas Tolak Donasi Terkoneksi Israel, Dukung Boikot Global

Baznas Tegas Tolak Donasi Terkoneksi Israel, Dukung Boikot Global

Nasional
Kejagung Tegaskan Tak Ada Peningkatan Pengamanan Pasca Kasus Penguntitan Jampidsus

Kejagung Tegaskan Tak Ada Peningkatan Pengamanan Pasca Kasus Penguntitan Jampidsus

Nasional
Ahli Sebut Jaksa Agung Bukan 'Single Persecution' dalam Kasus Korupsi

Ahli Sebut Jaksa Agung Bukan "Single Persecution" dalam Kasus Korupsi

Nasional
Sang Cucu Pernah Beri Pedangdut Nayunda 500 Dollar AS, Sumber Uang dari SYL-Indira Chunda

Sang Cucu Pernah Beri Pedangdut Nayunda 500 Dollar AS, Sumber Uang dari SYL-Indira Chunda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke