Hal ini seiring dihapusnya kewajiban peserta Pemilu 2024 untuk menyerahkan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) oleh KPU.
Oleh karenanya, peserta pemilu hanya perlu melaporkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan-Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
"Bawaslu memang akhirnya harus menunggu sampai LPPDK diserahkan untuk memeriksa sumber dana dan belanja peserta pemilu," kata Titi kepada Kompas.com, Rabu (31/5/2023).
"Oleh karena itu, harus ada strategi yang tepat untuk mencegah pelanggaran dan memastikan laporan dana kampanye memang akuntabel," ujarnya lagi.
Titi mengatakan, pengawasan secara cermat atas aktivitas kampanye ini harus dilakukan secara kolektif di setiap jenjang, baik di tingkat pusat maupun daerah, baik kampanye yang dilakukan partai politik maupun kandidat itu sendiri.
Aktivitas kampanye ini, menurutnya, harus diperiksa dengan laporan dana kampanye yang diserahkan kepada KPU, apakah besaran dana kampanye yang masuk dan keluar selaras dengan aktivitas kampanye yang dilakukan.
"Bawaslu juga perlu bekerja sama dengan kementerian dan lembaga yang memiliki kaitan kewenangan dengan tugas pengawasan Bawaslu, terutama PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," ujar Titi.
"Ini terkait dengan aliran dana mencurigakan atau dilarang yang melibatkan peserta pemilu atau orang dan lingkungan terdekatnya," kata pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia itu lagi.
Sebagai informasi, kewajiban lapor LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014. Dalam skala nasional, peserta Pemilu 2019 pun masih diberikan kewajiban ini meskipun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah diundangkan.
Di sisi lain, Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik mengatakan, dihapusnya LPSDK untuk Pemilu 2024 juga tidak terlepas dari singkatnya masa kampanye pada pemilu kali ini yang hanya 75 hari.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/31/12483591/kpu-hapus-wajib-lapor-sumbangan-kampanye-tugas-berat-disebut-menanti-bawaslu