Ketika pertemuan santai ala lesehan dengan menu makanan khas angkringan disajikan. Tampak seperti nasi berkat serta beberapa pilihan sate atau sunduan dan wedangan.
Dengan alasan pertama basa-basi menyambut menteri yang main ke Solo, berikutnya juga karena Prabowo dianggap bisa menyambung legacy pemerintahan Jokowi, barisan relawan Joko Widodo (Jokowi) dan Gibran mendukungnya sebagai calon presiden (capres) 2024.
Tentu saja ini akan menjadi “gambar peta baru” versi Gibran yang cukup mengejutkan. Apalagi pernyataan sikap ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan 100 perwakilan relawan yang bertemu di Loji Gandrung, Rumah Dinas Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka.
Soal beda partai tak jadi masalah, karena ini katanya merupakan sikap arus bawah di luar ketundukannya dengan Presiden Jokowi, karena tak memiliki bendera apapun.
Inisiasi pertemuan antara bakal capres dari Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dengan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran adalah inisiatif Prabowo.
Pertemuan ini menjadi “sowan politik”, mengingat siapapun orangnya, jika itu tokoh politik, maka hampir otomatis akan menjadi pertemuan politik. Paling tidak akan dipolitisasi seperti halnya pesan tersirat dalam tulisan ini.
"Acaranya khusus makan," kata Prabowo.
Garis politik yang melekat
Di luar posisinya sebagai wali kota Solo, Gibran adalah putra Jokowi, mau tidak mau tentu kita akan menyangkut-pautkan keterlibatan urusan politik di dalamnya.
Ada atau tidak ada koordinasi, sikap politik seperti ini tidak main-main. Apakah itu sinyal bahwa Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra sedang bernegosiasi soal kemungkinannya untuk bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)? Ataukah ini bentuk dari politik "dua kaki"?
Namun jika langkah politik itu dimaksudkan untuk menggembosi rival politik, atau membangun arah berseberangan politik, tentu saja masih terlalu dini diprediksi. Jika itu terjadi, maka tentu akan ada kekuatan “parpol” yang terbelah.
Apakah hal itu bisa saja terjadi? Mengingat begitu besar jasa PDIP membawa "rombongan" trah Jokowi ke tampuk kekuasaan seperti saat ini.
Namun anggap saja jika bentuk dukungan itu bagian dari pilihan politik baru Prabowo, konsekuensinya pastilah Prabowo akan mengalah hanya sebagai cawapresnya Ganjar di bawah bayang-bayang PDIP.
Paling tidak peluang untuk bisa masuk sepenuhnya dalam duo RI-1 dan RI-1 bisa terwujud dalam pilpres 2024. Setelah dalam tiga pencalonan sebelumnya hanya menjadi runner up.
Maka konsekuensi itu bisa menjadi pilihan mendekati “harga mati” daripada tidak pernah muncul dipajang di samping RI-1. Begitulah kurang lebih skenario liarnya.
Nyatanya semua itu kemudian "dianulir" dengan pernyataan sikap Gibran untuk terus tegak lurus mengikut Ketum PDIP Megawai Soekarnoputri, sebagai komitmen kader muda, setelah Gibran diundang petinggi PDIP.
Publik tentu berpraduga jika undangan itu adalah upaya meminta klarifikasi Gibran atas "langkah politiknya".
Terlepas dari wujud teori Dramaturgi Hoffman, politik sebagai “panggung sandiwara”, kita tidak tau persis, apakah sikap Gibran melakukan sowan politik dengan Prabowo, sekadar penghormatan dalam kapasitas sebagai Menteri saja, ataukah sesungguhnya memang benar "ada apa-apanya".
Buktinya adalah pernyataan sikap para relawan-balanya Gibran dan Jokowi yang akan mendukung Prabowo dalam suksesi Pilpres 2024.
Anggap saja semuanya selesai setelah klarifikasi. Persis kasus Ganjar ketika ditodong oleh seorang penyiar televisi soal pencapresannya yang kemudian membuat gaduh PDIP dan petingginya.
Dan cukup dengan pemberian sanksi saja, Ganjar sebagai kader militan partai langsung sendiko dawuh mengikut kebijakan partai dan ketumnya.
Match point Prabowo
Jika tetap kukuh bertahan dengan pilihan menjadi capres di bawah panji Partai Gerindra, Prabowo harus cermat memilih cawapresnya. Jika tidak, maka akan bernasib sama, kalah keempat kalinya.
Dan pilihan itu tidak mudah, karena beberapa nama yang muncul sebagai bakal calon wapresnya memiliki elektabilitas yang pas-pasan.
Sementara memaksa bergabung dengan koalisi yang sudah mulai rapat barisannya seperti Nasdem, PKS dan Demokrat sudah semakin rapat tertutup. Apalagi di sana ada AHY yang partainya menyimpan perolehan kursi yang tidak sedikit, dan ia juga berminat pada kursi yang sama dengan Prabowo jika memilih mengalah bergabung dengan koalisi besar.
Jika melirik Partai Golkar, sesuai dengan keputusan internal partai, Airlangga tetap akan maju sebagai capres. Meski Golkar adalah partai dengan kursi mayoritas juga, namun secara elektabilitas calonnya masih tak sepopuler dirinya (Prabowo) dan dua rivalitasnya, yaitu Ganjar dan Anies.
Jadi itu juga pilihan yang sedikit riskan jika targetnya adalah menang, karena di seberang sana ada PDIP yang kelihatan makin semringah, dan Anies Baswedan yang selalu mendapat dukungan kuat dari publik.
Kita sulit menebak bagaimana bandul politik akan berayun. Kita selalu mendengar bayolan satir, “jika ada serangan fajar, ambil uangnya, buang amplopnya”.
Itu bukan hal aneh terjadi dalam politik, tapi siapa yang bisa memastikan jika, pemilih hanya akan “mengambil uang” dan “membuang amplopnya?”
Prabowo tentu tak mau berspekulasi lagi. Paling tidak, Pilpres kali ini adalah posisi Match Point buatnya, posisi ketika pemain yang unggul (capres kuat 2024), tinggal berjarak satu poin lagi untuk menutup permainan yang menentukan akhir pertandingan.
Namun mengapa harus Gibran yang menggiring para relawan dalam barisan mendukung Prabowo? Mengapa wacana yang muncul bukan menggalang kekuatan pendukung Prabowo agar masuk dalam pusaran kekuatan PDIP?
Jika Prabowo tidak berhati-hati melangkahkan kakinya, bisa terperosok ke dalam lubang. Begitu juga dengan langkah Gibran saat ini. Politik memang seperti laut, sulit ditebak dalamnya!
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/23/06000031/prabowo-match-point-gibran-ikut-main-