Bersamaan dengan itu, kita perlu berpengharapan. Korupsi bisa tereduksi dan negara kita bisa sejahtera jika kita menghidupi demokrasi Pancasila.
Relasi kolutif politik dan ekonomi
Sebagian orang berpikir, semakin demokratis suatu negara, semakin berkurang tingkat korupsinya. Faktanya tidak demikian.
Beberapa studi empiris menyimpulkan bahwa demokrasi tidak otomatis membuat tingkat korupsi di suatu negara menjadi rendah (Rothstein 2011, Mungiu-Pippidi and Johnston 2017). Bahkan bisa sebaliknya. Di negara demokrasi baru, korupsi semakin parah dan menggurita.
Ada ahli yang berasumsi, semakin dewasa demokrasi, korupsi akan tereduksi (Kolstad dan Wiig 2016).
Faktanya juga tidak selalu demikian. Kematangan demokrasi di suatu negara, tidak berbanding lurus dengan tingkat korupsinya (Rock 2009; Bäck dan Hadenius 2008).
Indonesia contohnya. Demokrasi di negeri ini semakin dewasa dalam hal usia. Namun, tingkat korupsinya tidak rendah.
Indeks persepsi korupsi setahun terakhir pemerintahan Jokowi bahkan menurun signifikan: dari 38 menjadi 34. Skor ini sama ketika Jokowi mulai memerintah pada 2019.
Artinya, korupsi masih merajalela dan pemberantasannya tidak ke mana-mana. Situasi ini membenarkan apa yang pernah diucapkan Menko Polhukam Mahfud MD.
Menurut Mahfud, korupsi di Indonesia jauh lebih dahsyat dibanding zaman Orba. Kalau dulu korupsi dilakukan terkoordinasi, kini korupsi terdesentralisasi (Kompas.com, 5/6/ 2021).
Mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia memprihatinkan dan cenderung tidak ada perbaikan? John Girling dalam Corruption, Capitalism and Democracy (1997) bisa menjelaskan.
Menurut dia, korupsi adalah konsekuensi logis dari struktur masyarakat demokratis-kapitalis. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Di dalam demokrasi ada penghargaan terhadap rakyat, kebebasan berpendapat, kesetaraan hukum dan politik. Demokrasi menghendaki, kebijakan publik harus steril dari intervensi atau kepentingan privat, termasuk di dalamnya kepentingan pengusaha.
Sayangnya, gagasan luhur demokrasi tidak berada dalam ruang hampa. Demokrasi dipraktikkan dalam masyarakat kapitalis dengan beberapa kekhasannya.
Pertama, menjunjung tinggi materi. Dalam masyarakat kapitalis, segala sesuatu bisa dibeli. Termasuk praktik demokrasi.
Kedua, masyarakat kapitalis melahirkan ketidaksetaraan ekonomi. Gagasan tentang kesetaraan politik dalam demokrasi bertentangan dengan ketidaksetaraan ekonomi yang secara empiris terjadi.
Padahal, demokrasi perlu biaya agar bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Masyarakat kapitalis yang melihat segala sesuatu bisa dibeli dan kehidupan demokrasi yang perlu biaya agar berfungsi, melahirkan prinsip supply dan demand.
Kondisi ini membuka ruang lebar praktik kolusi pengusaha dan penguasa. Relasi kolutif ini pada gilirannya menyuburkan korupsi.
Salah satunya terjadi melalui politik transaksional di back stage politic. Pengusaha membiayai ongkos politik kandidat penguasa dengan harapan memperoleh kompensasi proyek bisnis dari penguasa.
Mungkin itu yang menyebabkan banyak pengusaha di Indonesia berusaha menjadi penguasa. Jumlah pengusaha yang terjun ke dunia politik dari hari ke hari semakin bertambah.
Beberapa pengusaha bahkan menjadi tokoh sentral -baik yang terang-terangan mau pun yang di belakang layar- dalam kehidupan politik di Indonesia. Beberapa partai politik juga dimiliki pengusaha.
Relasi kolutif tersebut membuat kebijakan publik dan undang-undang yang dihasilkan lembaga negara tidak otomatis mencerminkan semangat demokratis: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Kebijakan pemerintah dan undang-undang yang dihasilkan wakil rakyat menjadi bias pengusaha. Apalagi di negara yang perlu membangun seperti Indonesia.
Tidak heran pemerintah terkesan ngotot mengeluarkan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja walau MK sudah memutuskan bahwa UU Cipta Kerja cacat formal karena bertentangan dengan asas pembentukkan perundang-undangan serta kurang melibatkan partisipasi publik.
Pemerintah tetap mengeluarkan perppu tersebut dengan berbagai alasan. Apa pun alasannya, Perppu tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah memprioritaskan kepentingan ekonomi dibandingkan prosedur demokratis.
Menghidupi demokrasi Pancasila
Struktur ekonomi dan demokrasi yang kolutif mengharuskan kita bersikap realistis. Adalah absurd melihat gagasan luhur demokrasi mewujud sempurna dalam pengalaman empiri.
Namun, kita juga perlu berpengharapan. Demokrasi -meminjam Fidelis Regi Waton- adalah cara hidup luhur memperjuangkan humanisme sosial. Yaitu, menentukan nasib sendiri dan memperjuangkan kepentingan umum (Kompas, 1 Maret 2023).
Karena itu, demokrasi perlu dipertajam, didefinisikan dan dipraktikkan terus sebagai sebuah gaya hidup.
Agar kita realistis menerima keterbatasan demokrasi tetapi tetap optimistis terhadapnya, gagasan demokrasi sosial bisa menjadi alternatif demokrasi-kapitalistik.
Demokrasi sosial di satu sisi bersikap realistis: manusia perlu makan dan materi. Itu sebab kemajuan ekonomi dan penentuan nasib pribadi tetap dianggap penting.
Namun demokrasi sosial optimistis dalam mewujudkan hidup bersama. Ekonomi yang maju perlu diikuti dengan pemerataan dan keberlanjutan. Tidak boleh hanya elite penguasa atau pengusaha yang sejahtera.
Dalam gagasan demokrasi sosial, negara mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk kesejahteraan rakyat. Caranya, melalui penerapan pajak yang tinggi, yang dialokasikan untuk hak-hak kesejahteraan.
Di sini berlaku keadilan sosial: mereka yang mendapat uang banyak berkewajiban mendukung kesejahteraan masyarakat melalui pajak yang juga besar.
Menariknya, negara-negara yang menghidupi gagasan demokrasi sosial (Finlandia, Norwegia, Denmark, Swedia) disebut sebagai negara-negara yang masyarakatnya berbahagia.
Selain itu, di negara-negara demokrasi sosial tingkat korupsinya rendah. Tingkat kepercayaan publik tinggi kepada pemerintah. Negara-negara tersebut disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare state).
Dalam opininya, Negara Kesejahteraan (Kompas, 9 Januari 2023), Todung Mulya Lubis mensugesti pembaca bahwa Indonesia, sesuai dengan UUD 1945, adalah negara kesejahteraan.
Sayangnya, demikian menurut dia, sistem sosial dan ekonominya tidak konsisten dan koheren dengan gagasan tersebut.
Perlu ditambahkan, bukan hanya UUD 1945 yang mengindikasikan Indonesia adalah negara kesejahteran. Pancasila juga mengindikasikan hal itu.
Sila kelima menegaskan perlunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk “elite penguasa dan pengusaha”.
Sila keempat memiliki spirit yang serupa: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, bukan “kerakyatan yang dipimpin oleh oligarki atau para pengusaha yang merangkap penguasa”.
UUD 1945 dan Pancasila berisi gagasan luhur yang sejalan dengan demokrasi sosial, bukan demokrasi kapitalistik.
Jika gagasan ini diterjemahkan dalam struktur dan sistem ketata-negaraan kita, lalu dihidupi oleh seluruh rakyat Indonesia, maka kita optimistis rakyat Indonesia bisa merasakan arti kesejahteraan seperti rakyat di negara-negara Skandinavia. Semoga.
https://nasional.kompas.com/read/2023/04/28/08000041/korupsi-dalam-demokrasi