Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menolak banding yang diajukan Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Dengan demikian, mantan Jenderal bintang dua Polri itu tetap dihukum mati sebagaimana vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
"Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor Nomor: 796/Pid.B/2022/PN.Jkt.Sel yang dimintakan banding tersebut,” kata Ketua Majelis Hakim Singgih Budi Prakoso dalam persidangan di PT DKI Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Ultra petita dibenarkan
Hakim Singgih berpandangan, ulta petita yang dijatuhkan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan terhadap mantan Ferdy Sambo dibenarkan dalam hukum pidana.
Ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara yang melebihi tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Majelis hakim tinggi berpendapat bahwa ultra petita tidak dikenal baik dalam hukum acara pidana maupun di dalam hukum pidana,” papar Hakim Singgih.
Ketua Majelis Hakim ini pun menjelaskan, ultra petita hanya dikenal dalam lapangan hukum perdata khususnya diatur dalam hukum acara perdata Pasal 178 Ayat 3.
Namun, secara normatif tidak ada larangan ultra petita dalam hukum acara pidana dan hal ini juga banyak dilakukan dalam hakim yang pada putusannya.
“Dengan demikian, secara mutatis mutandis ultra petita dibenarkan dalam lapangan hukum pidana,” papar Hakim.
Dalam pertimbangan putusan pengadilan, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan berpendapat bahwa motif bukanlah unsur penting, sehingga tidak harus dibuktikan dalam sidang.
Motif perlu diketahui di antaranya hanya untuk menentukan berat ringannya pemidanaan, tetapi tidak wajib dibuktikan dalam persidangan.
"Karena motif dengan kesengajaan merupakan dua hal yang berbeda, kecuali apabila dalam KUHP memang mensyaratkan secara eksplisit perlunya motif itu dibuktikan," kata Hakim.
Terkait ini, Majelis Hakim PT DKI Jakarta berpendapat bahwa motif merupakan hal yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.
Jika dikaitkan dengan tindak pidana, maka motif menjadi dorongan yang terdapat dalam sikap batin atau niat pelaku untuk melakukan tindak pidana.
Dalam proses peradilan, menurut Hakim, motif memang menjadi bagian untuk menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan. Akan tetapi, sifatnya kasuistik.
Oleh karenanya, Majelis Hakim PT DKI Jakarta berpendapat, motif pembunuhan berencana dalam kasus kematian Brigadir J tak perlu dibuktikan.
Menurut hakim, motif yang diklaim berawal dari kekerasan seksual yang dilakukan Brigadir J terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi, tidak jelas.
Sebab, sejumlah saksi penting seperti Kuat Ma'ruf dan saksi Susi yang berada di rumah Magelang, tempat yang disebut-sebut sebagai lokasi terjadinya kekerasan seksual, sejak awal tak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut.
"Dengan demikian, apa yang dipertimbangkan oleh judex facti tingkat pertama mengenai motif adalah sudah benar, yakni bukannya tidak ada motif, akan tetapi terdapat perbedaan penafsiran berkairan dengan motif terdakwa Ferdy Sambo antara penasihat hukum dengan majelis hakim judex facti," kata hakim Singgih.
Untuk diketahui, empat dari lima terdakwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Keempatnya yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf.
Dalam perkara ini, Sambo divonis hukuman mati, lebih berat dari tuntutan jaksa yang meminta mantan perwira tinggi Polri itu dihukum penjara seumur hidup.
Sementara, Putri dihukum pidana penjara 20 tahun, lebih berat dari tuntutan jaksa yang memintanya divonis 8 tahun penjara.
Lalu, Kuat Ma'ruf divonis 15 tahun penjara, lebih berat dari tuntutan jaksa yang memintanya dihukum 8 tahun penjara.
Vonis Ricky Rizal juga lebih berat dari tuntutan jaksa, yakni 13 tahun pidana penjara dari tuntutan 8 tahun penjara.
Banding terhadap tiga terdakwa lain juga ditolak oleh Majelis Hakim PT DKI Jakarta. Dengan demikian, hukuman mereka tetap seperti vonis di PN Jakarta Selatan.
Berbeda dari empat terdakwa lainnya, terdakwa Richard Eliezer divonis ringan dalam perkara ini. Oleh majelis hakim, mantan ajudan Ferdy Sambo itu dihukum pidana penjara 1 tahun 6 bulan.
Dari lima terdakwa, hanya Richard yang hukumannya jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa meminta hakim menghukum Richard pidana penjara 12 tahun.
Baik pihak Richard maupun Kejaksaan Agung memutuskan tidak mengajukan banding atas vonis tersebut. Sehingga, vonis 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Richard sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
https://nasional.kompas.com/read/2023/04/13/09412611/saat-upaya-ferdy-sambo-lolos-dari-hukuman-mati-gagal-di-pt-dki