Salin Artikel

Dominasi Politik Pengusaha: Menuju Neo-Totalitarianisme?

PENGGALAN kalimat tersebut sempat dilontarkan oleh Jusuf Kalla, salah satu Mantan Wakil Presiden RI di era pertama Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono, saat memberikan sambutan dalam Kongres Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia pada 2017 lalu.

Dalam pidatonya, JK menyebut bahwa pengusaha tidak seharusnya masuk ke ranah politik, agar bisa fokus mengembangkan usaha serta berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Sayangnya, ia menyebut bahwa banyak pengusaha yang kini memilih terjun ke dunia politik pada usia yang relatif masih sangat muda.

Sebagai contoh adalah Sandiaga Uno, yang kala itu baru saja berhasil memenangi pemilihan kepala daerah pada 2017 sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Anies Baswedan, hingga saat ini menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.

Fenomena banyaknya pengusaha yang sukses terjun ke dunia politik tak hanya terjadi di lingkungan eksekutif, tetapi juga legislatif.

Selain itu, banyak pula yang menduduki jabatan strategis di lingkungan organisasi partai politik, baik sebagai ketua umum maupun kader.

Nama-nama pengusaha sekaligus politisi terkenal seperti Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, Erick Thohir, Aburizal Bakrie, Bahlil Lahadalia, hingga Luhut Binsar Pandjaitan adalah sederet figur yang seringkali menghiasi media massa sebagai pejabat publik ataupun petinggi partai politik.

Sebuah penelitian bertajuk Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia oleh Defbry Margiansyah, menganalisis jumlah pebisnis atau pengusaha yang berkiprah sebagai legislator di Dewan Perwakilan Rakyat.

Hasilnya, 5 hingga 6 dari 10 anggota DPR saat ini memiliki latar belakang pengusaha, dengan jumlah mencapai 318 orang.

Jumlah tersebut meningkat dibanding periode sebelumnya, dan melebihi setengah dari total anggota parlemen saat ini atau sekitar 55 persen. Sebanyak 45 persen sisanya berasal dari kalangan non-pengusaha.

Fenomena ini membuktikan bahwa di lingkungan legislatif, peran pengusaha tentunya sangat dominan dalam proses legislasi.

Hal ini, sedikit banyak dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan rapat-rapat di DPR yang membahas berbagai isu dan aspirasi masyarakat.

Selama ini, pengusaha dianggap sebagai kaum atau golongan yang memiliki kekuatan tersendiri bagi jalannya roda pemerintahan.

Hal ini didasarkan pada teori trickle-down effect yang digagas pertama kali oleh Hirschman pada 1954.

Konsep Trickle-down effect juga sejalan dengan spillover effect, yang diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dalam bentuk penciptaan lapangan kerja baru, mengurangi tingkat pengangguran, hingga memeratakan distribusi pendapatan.

Tak heran, setiap pemimpin negara, mulai dari era Presiden Soekarno hingga Joko Widodo, selalu mencari cara untuk menggait bantuan dan mengadvokasi kepentingan pengusaha ataupun konglomerat di Indonesia demi membantu jalannya perekonomian negara.

Di era Presiden Soekarno dan Soeharto, para pengusaha seringkali bekerja di balik layar, sehingga oleh Adam Smith, efek positif yang ditimbulkannya dijuluki sebagai the invisible hand.

Namun, yang terjadi saat ini adalah adanya perubahan paradigma para pengusaha, yang semula membantu urusan politik dan perekonomian negara dengan bekerja di balik layar, kini menjadi muncul langsung secara terang-terangan sebagai pejabat publik dan turut ikut serta dalam pengambilan keputusan di berbagai sektor pemerintahan.

Fenomena ini ternyata dapat berdampak buruk pada jalannya demokrasi, seperti yang terjadi pada Amerika Serikat di masa kepemimpinan Donald Trump.

Presiden Trump yang juga memiliki latar belakang pebisnis, nyatanya banyak mengambil kebijakan yang sifatnya otoriter, bahkan cederung totaliter.

Indikasi kebijakan totaliter Trump antara lain bersikap represif terhadap media dengan menuding CNN dan New York Times menyebarkan berita palsu dan bersekongkol melawannya, banyaknya konflik kepentingan bisnis Trump selama masa pemerintahannya sebagai presiden, hingga klaim kecurangan yang berujung pada kerusuhan pada Pilpres AS 2020.

Semua dilakukan demi melanggengkan bisnis serta pemerintahannya agar berjalan sebagaimana yang ia mau, dan secara langsung menunjukkan sisi totaliter dari seorang pengusaha sekaligus politisi, yang kini lebih dikenal dengan sebutan neo-totalitarianisme.

Lantas, mengapa dominannya pengaruh pengusaha dalam politik dapat berarah pada lahirnya praktik totalitarianisme baru atau neo-totalitarianisme?

Apa itu Neo-totalitarianisme?

Totalitarianisme menurut kamus Merriam-Webster adalah suatu konsep politik di mana warga negara harus tunduk secara total kepada otoritas kekuasaan negara yang bersifat absolut.

Bentuk pemerintahan totalitarianisme mengatur hampir segala aspek dari kehidupan warga negara, dan merupakan bentuk ekstrem dari otoritarianisme dengan menghalau semua bentuk oposisi serta kelompok-kelompok yang menentang rezim.

Di era lama, totalitarianisme dicirikan dengan kepemimpinan yang bersifat respresif dan militeristik, seperti di Italia oleh Benito Mussolini, Jerman oleh Adolf Hitler, Uni Soviet oleh Joseph Stalin, hingga Kamboja oleh Hun Sen.

Di era modern, nyatanya praktik totalitarianisme juga masih terjadi, meskipun tidak dibalut dengan kepemimpinan militeristrik layaknya era lama.

Salah satu contoh gaya kepemimpinan totaliter di era modern terjadi di India, di mana kebijakan populisme dan pembatasan kebebasan sipil oleh Perdana Menteri Narendra Modi membuktikan bahwa kepemimpinan totaliter tetap dapat eksis meskipun negara tersebut menerapkan demokrasi dalam pemerintahannya.

Perbedaan konsep totalitarianisme maupun neo-totalitarianisme di era lama dan baru sebenarnya hanya terletak pada pendekatannya saja.

Di era lama, pendekatan represif secara terang-terangan dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan, sementara di era baru cenderung lebih menggunakan pendekatan ekonomi yang dilakukan oleh para pengusaha.

Meski berbeda pendekatannya, tujuan kedua konsep ini sebenarnya sama, yaitu menguasai apa yang disebut oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya berjudul Oligarki dan Totalitarianisme Baru, sebagai empat cabang kekuasaan: organisasi pemerintahan, korporasi atau dunia usaha, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan media massa.

Dalam era modern saat ini, pengusaha diasumsikan sebagai golongan yang paling memungkinkan untuk menguasai keempat cabang tersebut, karena kekuatan modal yang dimilikinya.

Alhasil, di era modern ini terjadilah apa yang dikemukakan oleh Sheldon S. Wolin, dalam bukunya berjudul Democracy Incorporated, sebagai totalitarianisme terbalik (inverted totalitarianism).

Kondisi ini bercermin pada situasi politik di Amerika Serikat yang digambarkan sebagai demokrasi, namun sesungguhnya tidak lain merupakan totalitarianisme secara halus.

Salah satu indikator sebuah negara mengalami inverted totalitarianism adalah adanya korporatokrasi dan plutokrasi, di mana pengusaha berperan dominan di dalam pemerintahan.

Inilah yang di dalam buku Prof. Jimly juga sebut sebagai bagian dari bentuk totalitarianisme baru atau neo-totalitarianisme.

Lantas, apa yang menyebabkan seorang pengusaha yang memimpin negara justru cenderung menjadi totaliter?

Benturan kepentingan

Inti dari mengapa pengusaha yang duduk sebagai pemimpin tertinggi sebuah negara menjadi figur yang totaliter adalah karena banyaknya benturan kepentingan.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya terdapat empat cabang kekuasaan yang dikemukakan oleh Prof. Jimly, yaitu organisasi pemerintahan, korporasi, ormas dan media massa.

Ketika seorang pengusaha memiliki satu atau kesemua dari cabang tersebut, maka benturan kepentingan baik secara bisnis ataupun politik menjadi tidak terelakkan.

Memiliki jabatan publik memungkinkan seorang pengusaha untuk mencari koneksi dan membantu lobi-lobi demi memenangkan persaingan usaha.

Pendanaan ormas dan kepemilikan media massa juga dapat membantu penggalangan opini masyarakat, serta mencegah berita-berita miring dan kasus tertentu menjadi ter-published.

Mindset tiap-tiap pengusaha yang juga profit-seeking menjadikan benturan kepentingan politik menjadi gengsi yang harus dimenangkan, layaknya sebuah persaingan bisnis.

Sifat-sifat benturan kepentingan politik layaknya persaingan bisnis dalam ilmu ekonomi sejatinya adalah sifat dasar seorang pengusaha yang merupakan seorang economic animals.

Kesimpulannya, seorang pengusaha dapat berpotensi memerintah secara totaliter, dikarenakan secara logis memiliki kemampuan untuk menguasai keempat pilar kekuatan politik negara, demi memenangkan benturan kepentingan yang terjadi.

Menurut Prof. Jimly, demi mencegah efek negatif yang ditimbulkan dari dominasi pengusaha sekaligus politisi ini, perlu adanya penguatan penegakan hukum, etika politik, serta modernisasi partai politik di Indonesia.

Hal ini perlu dilakukan demi mencegah banyaknya benturan kepentingan yang terjadi antaraktor politik, sehingga terwujud persaingan yang sehat seperti halnya dalam berbisnis.

Kedewasaan dalam berpolitik perlu dikedepankan para pengusaha sebelum terjun dunia politik, seperti yang dikemukakan oleh Mantan Wapres kita, Jusuf Kalla.

https://nasional.kompas.com/read/2023/04/04/07165391/dominasi-politik-pengusaha-menuju-neo-totalitarianisme

Terkini Lainnya

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Nasional
Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Nasional
Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Nasional
Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Nasional
Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Nasional
KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

Nasional
Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Nasional
Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Nasional
56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

Nasional
Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

Nasional
Laporkan Dewas ke Polisi, Nurul Ghufron Sebut Sejumlah Pegawai KPK Sudah Dimintai Keterangan

Laporkan Dewas ke Polisi, Nurul Ghufron Sebut Sejumlah Pegawai KPK Sudah Dimintai Keterangan

Nasional
Buka Forum Parlemen WWF Ke-10, Puan: Kelangkaan Air Perlebar Ketimpangan

Buka Forum Parlemen WWF Ke-10, Puan: Kelangkaan Air Perlebar Ketimpangan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke