Salin Artikel

Kasus Harta Rafael Alun, KPK Diminta Lebih Agresif Telaah LHKPN

JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih agresif menelaah Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), buat mendeteksi kekayaan tak wajar para pejabat, seperti yang terjadi pada mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rafael Alun Trisambodo.

Menurut Abdul, LHKPN bisa menjadi instrumen penyelidikan bagi aparat penegak hukum buat menelusuri asal-usul kekayaan tidak wajar pejabat negara.

Akan tetapi, karena data LHKPN sangat banyak dan seharusnya dilaporkan secara berkala, maka menurut dia KPK harus membuat mekanisme guna menelaah dan menganalisis LHKPN dibandingkan dengan profil pendapatan dan golongan jabatan sang pejabat.

"Karena itu dibutuhkan agresivitas KPK mengolah LHKPN dengan kepemilikan harta para penyelenggara negara beserta keluarganya," kata Abdul saat dihubungi Kompas.com, Rabu (1/3/2023).

Kasus dugaan kekayaan tidak wajar Rafael terkuak setelah salah satu anaknya, Mario Dandy Satrio (20), ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan terhadap D (17).

Berawal dari kasus itu, gaya hidup mewah Mario yang kerap memamerkan mobil mewah dan sepeda motor besar melalui media sosial terungkap.

Setelah itu profil kekayaan Rafael terungkap dan diduga tidak wajar berdasarkan profil pendapatan dan golongan jabatannya di DJP.

Di sisi lain, Abdul juga menilai KPK kurang peka dalam menangani dan menindaklanjuti LHKPN pejabat yang dianggap mencurigakan karena tidak sesuai profil gaji dan golongan jabatan.

"Ini menunjukan kurang pekanya KPK terhadap kekayaan penyelenggara negara yang aneh dan gila-gilaan jumlahnya dibanding pendapatan resminya dari negara. Kasus pemilikan kendaraan bermotor yang jor-joran ini bisa menjadi langkah awal bagi KPK untuk mempereteli para penyelenggara negara yang hartanya tidak terukur dalam LHKPN," ucap Abdul.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga membenarkan terdapat sejumlah LHKPN pejabat yang tidak cocok dengan profil gaji dan jabatan mereka.

Kejanggalan itu terjadi karena nilai harta kekayaan yang disampaikan terlampau besar atau justru sangat kecil.

Di sisi lain, KPK kemarin memanggil Rafael buat meminta klarifikasi atas hartanya yang tercatat sebesar Rp 56,1 miliar. Dari jumlah itu dilaporkan sebesar Rp 51 miliar dalam bentuk aset berupa tanah dan bangunan.

“PPATK saya bilang 2003 transaksinya sudah disebut walaupun dia belum wajib lapor,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dalam konferensi pers di KPK, Rabu (1/3/2023).

Pahala mengatakan, KPK tidak hanya akan mencari tahu kebenaran LHKPN Rafael.

Lembaga antirasuah ini akan menelusuri apakah asal usul kekayaan Rafael itu bisa dipertanggungjawabkan.

"Kalau asal (harta)-nya bisa dipertanggungjawabkan, kalau di LHKPN kan asal harta juga disebut, waris hibah dengan akta hibah, tanpa akta hasil sendiri, cuma itu saja ini yang kita dalami," kata dia.

"Termasuk laporan PPATK kita baca, tapi targetnya sekali lagi bukan hanya meyakinkan bahwa hartanya Rp 51 miliar, tanahnya itu ada semua, lantas yang lainnya oke, enggak begitu. Kita cari asalnya sekarang, makanya jadi agak lama karena kita cari asalnya," ujar Pahala.

Ia mengatakan, pencarian asal usul kekayaan pejabat eselon III tersebut cukup memakan waktu karena transaksinya harus dilacak hingga 2003.

Pahala juga menyatakan, berbarengan proses klarifikasi itu KPK juga sambil menyelidiki apakah Rafael terindikasi melakukan korupsi buat menemukan tindak pidana pokok dari dugaan TPPU.

“Ini kita cari, dalam proses klarifikasi. Jadi, buat teman-teman juga mungkin masyarakat sangat ingin tahu ini dari mana sebenarnya, aslinya, asalnya,” ucap Pahala.

Pahala mengatakan, KPK tidak mempersoalkan berapa pun nilai harta kekayaan pejabat yang dicantumkan dalam LHKPN. Namun, besaran LHKPN tersebut menjadi persoalan lain ketika para pejabat tidak bisa mempertanggungjawabkan asal usul harta kekayaan mereka.

“Nah ini karena orang hartanya (Rafael) besar, kita cari pertanggungjawaban asalnya,” ujar Pahala.

Pahala mengungkapkan, jika dalam proses klarifikasi itu ditemukan kekayaan Rafael Alun Trisambodo berasal dari gratifikasi, data-data tersebut akan diserahkan ke Kedeputian Penindakan dan Eksekusi.

Ia mengaku Kedeputian Pencegahan tidak hanya akan mengklarifikasi benar tidaknya sumber harta sebagaimana tertera di LHKPN, melainkan menelusuri sumber kekayaan tersebut.

“Kalau asalnya dia gratifikasi pas buktinya ada, pasti kita pindahkan ke teman-teman di Penindakan,” kata Pahala.

PPATK sebelumnya menemukan transaksi ganjil Rafael dalam laporan hasil analisis (LHA) pada 2012.

Menurut pihak PPATK, Rafael terindikasi melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) karena memerintahkan orang lain membuat rekening dan melakukan transaksi.

Dihubungi Kompas.com, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana membenarkan LHA yang disampaikan pihaknya berisi transaksi ganjil Rafael sejak sebelum 2012.

“Iya periode panjang saat kami analisis di 2012,” kata Ivan saat dihubungi, Rabu (1/3/2023).

“Kan periode transaksi yang dianalisis itu 2012 kebelakang,” ujar dia.

Di sisi lain, Ketua Kelompok Humas PPATK M Natsir Kongah mengatakan, setiap laporan hasil analisis (LHA) yang dikirim lembaganya ke aparat penegak hukum terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Setiap hasil analisis yang disampaikan kepada penyidik tentu ada indikasi tindak pidana pencucian uangnya,” kata Natsir saat dihubungi Kompas.com, Rabu (1/3/2023).

(Penulis : Syakirun Ni'am | Editor : Icha Rastika, Novianti Setuningsih, Diamanty Meiliana)

https://nasional.kompas.com/read/2023/03/02/16323401/kasus-harta-rafael-alun-kpk-diminta-lebih-agresif-telaah-lhkpn

Terkini Lainnya

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke