Salin Artikel

Melihat NU di Kamar Politik

Mungkin ini yang membuat Nahdlatul Ulama (NU) kikuk ada di pusaran demikian, hingga ia menarik diri dari pusaran dunia politik yang begitu banyak wajah.

Padahal NU pernah hadir di blantika dunia politik Indonesia, sebagai kontestan Pemilu 1955 yang begitu gilang gemilang memperoleh kemenangan, perolehan suara empat besar.

Pemilu 1955 yang diikuti lebih dari 30 partai politik menghasilkan 4 partai besar, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, NU, dan Partai Komunis Indonesia.

Tetapi NU kikuk berpolitik, sehingga kontribusi politiknya yang penuh ketulusan dan hanya memiliki satu wajah, acapkali diberdayakan demi kepentingan pihak lain atau kepentingan politik “oknum-oknum” internal.

Sehingga nyata sekali ini ketika pada Pemilu 1971 menjadi tiga besar, nasibnya tetap jeblok. Bahkan ketika NU disedot masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), politisi J. Naro beserta klubnya mempecundangi.

NU kemudian menarik diri, yang pada 1984 kembali ke khittah 1926. Sikap ini membuat NU mengambil jarak dengan politik praktis.

Pengurus Besar NU periode 2021-2026 hasil Muktamar ke -34 di Lampung, pagi-pagi sudah menegaskan bahwa NU mengambil jarak dengan politik praktis.

Bahkan belum lama ini Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Yahya Cholil Staquf, menandaskan bahwa NU dilarang terlibat secara kelembagaan dalam politik praktis (nu.or.id, 26/1/2022).

Tidak sampai di situ, sewaktu pada 25 Januari dalam diskusi Kementerian Dalam Negeri bertema ”Partisipasi Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pendidikan Pemilih Cerdas untuk Mewujudkan Pemilu Berkualitas Tahun 2024”, KH. Yahya Cholil Staquf menyesalkan bahwa NU pernah dibawa-bawa bahkan dipakai sebagai senjata pihak tertentu di Pemilu 2019.

“Kami lihat ini juga bukan model dinamika politik yang baik karena identitas ini adalah motivasi politik yang pertama bersifat irasional," jelasnya.

Keluwesan Politik NU

Hari Lahir NU tanggal 31 Januari jika dihitung berdasarkan penanggalan Hijriah atau kalender Islam, sejak berdirinya NU tanggal 16 Rajab 1344 H maka tahun ini, yakni 1444 H, menjadi peringatan satu abad Harlah NU jatuh pada 7 Februari 2023.

Tema yang diusung Harlah 1 Abad NU ini adalah “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”.

Dua kata kunci dari diktum tema itu adalah “menjemput” dan “menuju” menandakan pergerakan merebut masa depan, bukan saja untuk NU melainkan untuk bangsa dan negara ini. Dan ini impian besar, sekaligus pertanyaan besar, apakah masa depan Republik Indonesia akan menjadi lebih ideal?

Tema itu mengajak elemen bangsa untuk “menjemput abad kedua menuju kebangkitan baru”. Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU sudah lebih awal bangkit. Oleh karena itu ia memiliki urgensi yang sangat besar dalam membangun bangsa dan Negara Indonesia.

Sepanjang sejarahnya dan sejarah Republik Indonesia, banyak sekali peran dan jasa NU yang disumbangkan untuk bangsa dan Negara Indonesia, baik ditilik dari jurusan sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan politik.

Ketika ditelisik dari jurusan sosial, peranan NU terlihat upaya peneguhan semua tradisi keagamaan dan sosial.

Hal yang tidak kalah pekanya ditelisik dari jurusan politik, NU menjadi salah satu tonggak kokoh memancangkan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dari jurusan ini pula terlihat NU memainkan peran politik substansialistik, bukan politik formalistik yang banyak diusung oleh partai politik berbasis agama.

Beda dengan visi dan misi politik substansialistik, politik formalistik cenderung menghasilkan tata kelola kebangsaan yang zero some game-ada yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan, dan semangat eksklusivitas keagamaan (Bahtiar Effendy, 2000),

Sedangkan politik substansilistik, menurut Asep Sahid Gatara, dalam keagamaan justru menghasilkan moderasi dan toleransi.

Dengan demikian, politik substansialistik lebih fokus pada tujuan atau isi, sementara politik formalistik lebih tersibukkan pada prosedur dan bungkus atau cangkang dalam mencapai tujuan (Asep Sahid Gatara, 2021).

Deskripsi pemikiran politik substansialistik itu dimainkan NU awalnya ditempuh tahun 1949, dengan tetap berpijak pada tradisi pemahaman beragama mereka yang berdasarkan pemahaman Ahl al- Sunnah wa al- Jamaah atau Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Konsep politik ini luwes seiring dengan doktrin dasar NU.

Maka keluwesan politik NU, sebagaimana dijabarkan begitu jelas oleh Laode Ida, mempunyai makna sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan (2004).

Sampai kini umurnya sudah 100 tahun menandakan ia memang luwes, dan dalam korelasi historis politik Indonesia tidak mengejawantahkan politik yang sifatnya absolut.

Tidak lagi berpolitik

Politik substansialistik itu dimainkan NU pada tahun 1949, berbarengan ia melangkah masuk ke Partai Masyumi. Tapi di institusi ini apa yang menjadi watak politik keluwesan mengalami perbedaan dengan watak politik keluwesan NU.

Sehingga pada Pemilu 1955 ia memisahkan diri, dan langsung terang-terangan menjadi partai politik. Menjadi kontestasi di pemilu ini, ia memperoleh suara masuk 4 besar pemenang Pemilu 1955.

Lantas ketika memasuki era Orde Baru, politik luwes yang dimainkan NU ini justru semakin terpojok, dan luwes di sini seperti bermakna lunglai.

Hal ini semakin jelas saat NU “dijebloskan” oleh rezim masuk ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di sini watak politik luwes NU disempitkan, tidak diberikan ruang-ruang partisipasi yang besar sebagaimana lazimnya penyumbang suara sangat banyak dalam pemilu.

Namun takdir datang begitu indah, dalam keluwesan yang nyaris lebih bermakna lunglai, NU masih bisa melihat potensi dirinya.

Pada tahun 1984 ia keluar dari PPP, kembali ke khittah 1926. Dan era berubah memasuki Reformasi 1998, NU sebagai lembaga tetap kembali ke khittah 1926. Namun sejumlah tokoh-tokoh NU mendirikan partai, antara lain bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ulama (PNU), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).

NU sejak keluar dari PPP tahun 1984, meski ada peluang besar untuk menjadi partai politik di era Reformasi, tetap tidak tergoda politik praktis.

Dan keluarnya NU dari PPP itu otak penggeraknya adalah tokoh besar NU bernama KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang membuat NU tidak berpolitik kecuali personalitas.

Tonggak ketetapan NU tidak berpolitik ini semakin menghujam ke akar kebudayaan NU, yang dipancangkan oleh Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, “santri” politik Gus Dur.

Meski begitu KH. Yahya Cholil Staquf mengorientasikan NU fokus pada upaya pendidikan politik masyarakat.

Ini semua agar kalangan akar rumput dapat memilih calon pejabat berdasarkan pertimbangan rasional, dan tak mudah tersulut oleh sentimen politik identitas yang telah terbukti membawa pembelahan jangka panjang.

Dirgahayu NU.

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/01/06300061/melihat-nu-di-kamar-politik

Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Deret Jenderal TNI-Polri Pendukung Ganjar, Ada Mantan KSAL Sampai KSAU

Deret Jenderal TNI-Polri Pendukung Ganjar, Ada Mantan KSAL Sampai KSAU

Nasional
Sejumlah Purnawirawan Dukung Ganjar, Anggap Bisa Lanjutkan Program Jokowi

Sejumlah Purnawirawan Dukung Ganjar, Anggap Bisa Lanjutkan Program Jokowi

Nasional
Jemaah Punya Keluhan soal Haji, Kontak 'Lapor Gus Men'

Jemaah Punya Keluhan soal Haji, Kontak 'Lapor Gus Men'

Nasional
Golkar Mengaku Belum Diundang PDI-P untuk Bahas Rencana Dukung Ganjar

Golkar Mengaku Belum Diundang PDI-P untuk Bahas Rencana Dukung Ganjar

Nasional
Kritik Kebijakan Jokowi soal Mobil Listrik, Anies: Jangan Sampai Subsidi Kepada yang Tidak Perlu

Kritik Kebijakan Jokowi soal Mobil Listrik, Anies: Jangan Sampai Subsidi Kepada yang Tidak Perlu

Nasional
Aburizal Bakrie Nilai Golkar Tak Perlu Buru-buru Putuskan Arah Koalisi

Aburizal Bakrie Nilai Golkar Tak Perlu Buru-buru Putuskan Arah Koalisi

Nasional
Menaker Ida: SDM Indonesia Harus Punya Karakter Pancasila

Menaker Ida: SDM Indonesia Harus Punya Karakter Pancasila

Nasional
Pameran GTTGN 2023 Cetak Transaksi Rp 2,1 Miliar dalam 4 Hari

Pameran GTTGN 2023 Cetak Transaksi Rp 2,1 Miliar dalam 4 Hari

Nasional
Ganjar Sebut Ada Parpol Lain yang Bakal Mendukungnya Setelah Perindo

Ganjar Sebut Ada Parpol Lain yang Bakal Mendukungnya Setelah Perindo

Nasional
Megawati: Saya Ingin Pensiun, tetapi Enggak Dikasih Sama Pak Jokowi

Megawati: Saya Ingin Pensiun, tetapi Enggak Dikasih Sama Pak Jokowi

Nasional
PDI-P Bantah Dukungan Jokowi ke Ganjar Bercabang ke Prabowo: Framing untuk Memecah Belah

PDI-P Bantah Dukungan Jokowi ke Ganjar Bercabang ke Prabowo: Framing untuk Memecah Belah

Nasional
PDI-P 'Rangkul' Demokrat, Hasto: Toh Lamaran Anies Belum Turun

PDI-P "Rangkul" Demokrat, Hasto: Toh Lamaran Anies Belum Turun

Nasional
Gerindra Minta Kader Tidak Grusa-grusu, Jangan Jadi Beban Pemenangan Prabowo

Gerindra Minta Kader Tidak Grusa-grusu, Jangan Jadi Beban Pemenangan Prabowo

Nasional
Demokrat Desak Cawapres Ditetapkan, Anies Jawab Singkat

Demokrat Desak Cawapres Ditetapkan, Anies Jawab Singkat

Nasional
Ganjar Akui Ia Diajak Bicara Terakhir soal Sosok Cawapres

Ganjar Akui Ia Diajak Bicara Terakhir soal Sosok Cawapres

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke