JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Peneliti Persepsi Publik Indonesia (Aspeppi) menyatakan tidak setuju jika Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup.
Pernyataan ini menanggapi proses uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK) atas pasal 168 ayat (2) Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur sistem proporsoional terbuka dalam pemilu.
"Kami mendorong agar MK tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka dalam putusannya," ujar Direktur Eksekutif Aspeppi Abdul Hakim saat membacakan pernyataan di kawasan Slipi, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Setidaknya ada lima alasan Aspeppi menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Pertama, sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak Pemilu 2004 lalu. Selama hampir 20 tahun, sistem proporsional terbuka dinilai mampu mengurangi jarak penyampaian aspirasi masyarakat terhadap para wakilnya di DPR.
"Masyarakat bisa menyampaikan keluh kesahnya kepada wakil mereka di DPR yang dipilih secara langsung. Sehingga bisa cepat diartikulasikan dalam kebijakan politik," kata Hakim.
Dengan demikian, proses demokrasi yang sesungguhnya bisa dipraktikkan dengan baik.
Kedua, lanjut Hakim, sistem proporsional terbuka dianggap sudah meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam sektor politik karena posisi mereka kembali terangkat untuk berpartisipasi menentukan kekuasaan politik.
"Sebab saat era Orde Lama dan Orde Baru posisi masyarakat tak sebaik ini dalam demokrasi Indonesia," ungkap Hakim.
Ketiga, sistem proporsional terbuka adalah buah dari perjuangan dalam reformasi 1998, di mana salah satu tuntutannya adalah mengurangi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh partai politik dan elit kekuasaan.
Keempat, merujuk hasil survei nasional yang dilakukan oleh Skala Survei Indonesia (SSI) pada November 2022 menunjukkan sebanyak 63 persen masyarakat Indonesia masih berharap Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional terbuka.
"Di sisi lain, hanya 4,8 persen saja yang setuju sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup," tutur Hakim.
Kelima, saat ditelaah lebih jauh, masyarakat yang ingin sistem pemilu tetap proporsional terbuka punya sejumlah alasan tersendiri.
Antara lain pertimbangan prinsip ideal demokrasi, bisa mengetahui calon-calon wakil rakyat secara langsung, bisa memilih para calon legislatif (caleg) yang diinginkan.
"Lalu terpenuhinya hak pemilih menentukan wakilnya di DPR secara lebih transparan. Sebaliknya, yang mendukung proporsional tertutup lebih karena alasan teknis seperti biaya pemilu yang lebih murah, pemilu yang lebih singkat dan sebagainya," ungkal Hakim.
"Merujuk kepada berbagai alasan di atas, Aspeppi tetap mendorong kepada MK agar tidak lagi mundur ke belakang. Dengan memutus agar sistem proprosional terbuka tetap dipakai dalam sistem pemilu kita," tambahnya.
Diberitakan, bergulirnya isu sistem proporsional tertutup untuk diterapkan pada Pemilu 2024 bermula dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK.
Gugatan ini telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Semula, sidang uji matari akan digelar pada Selasa (17/1/2023), dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun, MK kembali menunda sidang lanjutan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu proporsional terbuka.
MK perlu melakukan beberapa persiapan untuk menggelar sidang secara luring sehingga sidang hari ini harus ditunda ke pekan depan yaknk Selasa (24/1/2023), pukul 11.00 WIB.
Sebelumnya, sidang lanjutan ini juga sudah ditunda pada 20 Desember 2022.
Ketika itu, pihak DPR mengaku berhalangan karena sedang memasuki masa reses, dan pihak Presiden meminta sidang ditunda, meskipun KPU sudah hadir.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/19/16042561/mk-diminta-tetap-pertahankan-pemilu-sistem-proporsional-terbuka