Salin Artikel

Mencermati Pro-Kontra Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

Sistem proporsional tertutup akan membuat para pemilih hanya melihat logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pemilihan legislatif (pileg).

Sementara dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun calon anggota legislatif yang diinginkannya. Sistem proporsional terbuka mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009.

Sebelumnya, sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Kemudian, dengan sejumlah argumentasi untuk menyempurnakan sistem demokrasi, para pengambil kebijakan memutuskan untuk menggunakan sistem proporsional terbuka yang kemudian kita gunakan hingga saat ini.

Akan tetapi, pada pertengahan November 2022, seorang kader PDIP, satu kader Nasdem, dan empat warga sipil lainnya menggugat pasal terkait sistem pemilihan caleg dalam UU Pemilu itu ke MK. Mereka meminta MK menyatakan penerapan sistem proporsional terbuka adalah inkonstitusional dan memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup.

Gugatan itu masih berproses di MK. Gugatan tersebut menjadi isu panas setelah Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, mengomentarinya pada 29 Desember lalu. Hasyim mengatakan, ada kemungkinan MK mengabulkan gugatan tersebut sehingga sistem pemilihan umum kembali ke proporsional tertutup.

Pernyataan Hasyim itu ramai-ramai dikritik. Sejumlah anggota DPR, pimpinan komisi DPR, pejabat teras partai politik, hingga pemerhati pemilu menyatakan bahwa penggunaan sistem proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi. Mereka juga mempertanyakan kapasitas Hasyim mengomentari sistem pemilihan caleg karena bukan domainnya.

Setelah dikritik bertubi-tubi, Hasyim menyampaikan klarifikasi. Dia menegaskan pernyataannya sebelumnya bukan mengarahkan keputusan MK. Dia hanya meminta para bakal caleg untuk tidak memajang alat peraga kampanye terlebih dahulu karena bakal tidak ada gunanya jika nanti MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup.

Namun terlepas dari itu, wacana terkait apa yang terbaik antara sistem proporsional tertutup atau terbuka, sudah bergulir menjadi perdebatan yang panas mulai dari elite, kelas menengah, hingga akar rumput.

Sejumlah poin yang perlu dipahami

Untuk itu, ada beberapa poin yang perlu dipahami dalam pro-kontra sistem pelaksanaan pemilu ini.

Pertama, benar bahwa sistem proporsional terbuka yang kita gunakan sekarang adalah bentuk penyempurnaan dari sistem proporsional tertutup yang digunakan sebelumnya. Perdebatan terkait ini sebelumnya pernah dibahas dalam diskusi Sekretariat Bersama (Sekber) Kodifikasi UU Pemilu, di Jakarta pada 31 Juli 2016.

Dalam diskusi tersebut, Sekber mendorong tetap dipertahankannya sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2019, dengan 10 alasan. Salah satunya adalah, sistem proporsional tersebut dapat meningkatkan keterkaitan hubungan antara caleg dengan pemilih.

Dalam sistem proporsional terbuka pemilih dapat langsung memilih caleg sesuai dengan yang diinginkannya tanpa ditentukan dengan partai politik. Artinya hubungan antara caleg dan pemilih akan semaik erat. Adapun dalam sistem proporsional tertutup, hubungan antar caleg dan konstituennya akan berjarak, karena yang menjadi mesin utama peraih suara adalah mesin partai secara kumulatif.

Alih-alih, sistem proporsional tertutup akan menyuburkan oligarki di dalam partai politik.

Kedua, sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini adalah amanat dari putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dikelurkan pada 23 Desember 2008, yang isinya mempertahankan Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 2017.

Akan mengherankan bila nanti keputusan MK justru membatalkan putusan sebelumnya, meski hal itu bisa saja terjadi karena pertimbangan konteks yang mengubah tafsir atas pasal tersebut.

Ketiga, dinilai dari konteksnya, putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dikeluarkan ketika sistem pemilu belum dilangsungkan secara serentak. Karena itu sistem proporsional terbuka bisa dilaksanakan secara ideal.

Namun saat ini, pemilu dilakukan secara serentak (lima kotak). Dalam pemilu serentak mekanisme ini tidak memungkinkan tujuan ideal dari Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 2017 bisa tercapai. Alih-alih, pemilu lima kotak yang kita selenggarakan pada tahun 2019 justru melahirkan bencana yang mengakibatkan jatuhkan korban jiwa lebih dari 800 orang.

Sebagai catatan, korban gempa Cianjur yang baru-baru ini terjadi, mengakibatkan korban jiwa kurang dair 300 orang. Pemilu ini memiliki resiko setara bencana alam. Hal ini, bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam putusan MK.

Keempat, bila ditinjau secara teknis, mekanisme pemilu lima kotak akan jauh lebih efektif dan efisien bagi pihak penyelenggara (KPU, Bawaslu dan DKPP) bila dilakukan dengan sistem proporsional tertutup. Bagi pemilih juga akan lebih ringkas. Sebab masyarakat cukup memilih gambar, tanpa harus meneliti lebih jauh caleg yang diinginkan, yang pasti akan menyulitkan dan memakan banyak waktu.

Kelima, jika MK nantinya memutuskan sistem proporsional terbuka inkonstitusional, maka sistem pemilu akan kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Hal itu akan berdampak pada perubahan atas banyak pasal di dalam UU Pemilu, UU Pilkada, PKPU, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Jika itu terjadi, hal tersebut akan menguras banyak energi pengambil kebijakan untuk mengadaptasikannya.

Kelima point di atas, hanya secuil dari isu krusial yang muncul dalam perdebatan di tengah masyarakat yang terjadi saat ini. Bagaimanapun, dikabulkannya uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang tengah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), akan memiliki dampak besar – tidak hanya terhadap pemilu – tapi juga terhadap keseluruhan sistem demokrasi di Indonesia.

Meski begitu, keputusan untuk menetapkan sistem pemilu dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup saat ini tergantung pada hasil putusan MK yang sifatnya final dan mengikat. Oleh sebab itu, penting bagi semua pihak untuk mengantisipasi hasil putusan MK tersebut.

Kita berharap, apapun putusan MK akan memberi dampak yang baik bagi upaya menyempurnakan demokrasi kita dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

https://nasional.kompas.com/read/2023/01/05/15090271/mencermati-pro-kontra-sistem-pemilu-proporsional-tertutup

Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke