Salin Artikel

RKUHP, antara Kritik Masyarakat dan "Pride" Anak Bangsa...

"Sesuai keputusan rapat Bamus (Badan Musyawarah) direncanakan besok (hari ini)," ujar Sekjen DPR Indra Iskandar saat dimintai konfirmasi, Senin (5/12/2022).

Sebelum ini, RKUHP rencananya disahkan pada 2019. Namun, saat itu terjadi penolakan dari masyarakat yang masif sehingga pengesahan RKUHP ditunda.

Kini, DPR kembali merencanakan pengesahan RKUHP dengan sejumlah perbaikan di dalamnya.

Walau begitu, masih ada penolakan masyarakat terhadap draf RKUHP terbaru ini jelang hari pengesahan.

Didemo masyarakat

Perwakilan 21 lembaga yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil melakukan aksi menolak pengesahan RKUHP di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, kemarin.

Para demonstran membentangkan spanduk berisi penolakan hingga menaburkan bunga sebagai tanda berkabung atas RKUHP yang bakal disahkan.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Citra Referandum, menilai masih ada pasal karet yang diterapkan dalam RKUHP.

Menurut dia, draf RKUHP terbaru yang bertanggal 30 November 2022 masih menyimpan pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan demokrasi.

Salah satunya soal larangan menyebarkan paham komunisme atau marxisme dan leninisme.

“Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di Orde Baru,” ujar Citra.

Kemudian, Ketua Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rizaldi menyoroti pasal yang mengatur ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana HAM berat dalam RKUHP.

Misalnya, kejahatan genosida di UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dipidana penjara paling singkat 10 tahun, tetapi di Pasal 598 dan 599 RKUHP diatur menjadi 5 tahun.

"Ancaman hukuman tindak pidana yang berat terhadap HAM dalam RKUHP lebih ringan dibanding ancaman hukuman pelanggaran HAM berat dalam UU Pengadilan HAM," kata Andi.

Andi menilai, RKUHP telah mendegradasi kekhususan dari tindak pidana berat terhadap HAM.

Pelanggaran HAM berat, menurut Andi, dalam RKUHP dikenal sebagai tindak pidana yang berat terhadap HAM. Padahal, aturan serupa juga sudah dimuat dalm UU Pengadilan HAM.

Pelanggaran HAM berat dinilai perlu memiliki kekhususan karena tingkat keparahan yang ditimbulkannya.

"Oleh karena pelanggaran HAM berat juga memerlukan cara penanganan yang khusus, dan diatur secara khusus dalam suatu payung hukum tersendiri," kata dia.

Kata pemerintah

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, tidak mungkin 100 persen masyarakat bisa setuju dengan RKUHP yang akan disahkan hari ini.

Akan tetapi, pemerintah menilai KUHP yang ada saat ini harus segera diperbaiki.

"Ini sudah dibahas dan disosialisasikan ke seluruh penjuru Tanah Air, penjuru stakeholder. Kalau untuk 100 persen setuju, tidak mungkin," ucap Yasonna di Gedung DPR.

Yasonna menyampaikan, KUHP yang dipakai Indonesia saat ini adalah hasil ciptaan Belanda.

Menurut dia, KUHP yang ada sudah ortodoks. Sementara itu, RKUHP berisi banyak hal yang lebih bagus bagi masyarakat.

"Dalam KUHP sudah banyak reformatif bagus. Kalau ada perbedaan pendapat sendiri, nanti kalau sudah disahkan, gugat di MK itu mekanisme konstitusional," kata dia.

Malu pakai hukum Belanda

Selanjutnya, Yasonna menyampaikan kepada masyarakat yang mendemo RKUHP bahwa Indonesia harus memikirkan perbaikan terkait KUHP.

Sebab, sudah 63 tahun Indonesia menggunakan undang-undang ciptaan Belanda itu.

"Karena apa? Malu kita sebagai bangsa memakai hukum Belanda. Tidak ada pride sebagai anak bangsa saya," kata Yasonna.

Bahkan, kata dia, guru-gurunya pun sangat mendambakan RKUHP segera disahkan.

Yasonna memaklumi perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat.

Ia meminta agar mereka yang masih menolak agar melakukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK) agar lebih elegan.

"Nanti saya mohon gugat saja di MK. Lebih elegan caranya," kata dia.

Sementara itu, Komnas HAM mengungkapkan sejumlah hal yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah dan DPR terkait RKUHP. 

Komnas HAM menyoroti pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana pelanggaran HAM berat dalam RKUHP tersebut.

Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyatakan, pihaknya mendesak agar genosida yang diatur dalam RKUHP dihapuskan.

"Karena dikhawatirkan menjadi penghalang adanya penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif karena adanya asas dan ketentuan yang tidak sejalan dengan karakteristik khusus genosida dan kejahatan kemanusiaan," kata Uli dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta.

Misalnya, kata Uli, ketentuan dalam Pasal 300 tentang hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Kemudian, ketentuan dalam Pasal 465, 466, dan 467 tentang aborsi agar tidak mendiskriminasi perempuan.

Selanjutnya, Komnas HAM juga mendesak perbaikan pasal tindak pidana penghinaan kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden.

Hal itu diketahui diatur dalam Pasal 218, 219, dan 220 draf RKUHP terakhir.

Lebih lanjut, Pasal 263 dan 264 tentang tindak pidana penyiaran penyebaran berita atau pemberitaan palsu, serta Pasal 349 dan 350 tentang kejahatan terhadap penghinaan kekuasaan publik dan lembaga negara harus diperbaiki.

"Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran atas hak kebebasan berpendapat dam berekspresi, berserikat dan berpartisipasi dalam kehidupan budaya sebagaiman dijamin dalam Pasal 28 E UUD 1945 dan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya," ujar Uli.

Sementara itu, Komnas HAM juga meminta DPR dan pemerintah untuk tetap mendengarkan dan mempertimbangkan masukan publik terhadap RKUHP.

Uli mengatakan, hal tersebut untuk memastikan bahwa perubahan dan perbaikan sistem hukum pidana tersebut tetap berada dalam koridor penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

https://nasional.kompas.com/read/2022/12/06/09565041/rkuhp-antara-kritik-masyarakat-dan-pride-anak-bangsa

Terkini Lainnya

Pengemudi HR-V yang Tabrak Bikun UI Patah Kaki dan Luka di Pipi

Pengemudi HR-V yang Tabrak Bikun UI Patah Kaki dan Luka di Pipi

Nasional
Bakal Cek Tabung Gas, Zulhas: Benar Enggak Isinya 3 Kilogram?

Bakal Cek Tabung Gas, Zulhas: Benar Enggak Isinya 3 Kilogram?

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke