Sebab, ada tarik-menarik antara kebebasan berbicara (freedom of speech) dengan ujaran kebencian (hate speech) yang kerap tak jelas batasnya.
Menurutnya, ada masalah hak asasi manusia jika ujaran kebencian berlangsung atas nama kebebasan berbicara. Demikian juga, jika kebebasan berbicara diberangus dengan stempel ujaran kebencian.
"Di situ Komnas HAM bisa memberi penilaian, itu kebebasan berekspresi atau sudah ujaran kebencian," ujar Ubaid ketika ditemui di kantornya pada Kamis (17/11/2022).
"Penindakannya tentu oleh yang berwenang, akunnya bisa di-takedown, orangnya bisa diproses dengan Sentra Gakkumdu-nya Bawaslu. Kan bisa. Menurut saya bisa, harus disiapkan," katanya lagi.
Ubaid kemudian memperkirakan bahwa mendekati Pemilu 2024, ekskalasi sentimen kebencian bukan tak mungkin akan meningkat sebagaimana Pemilu 2019. Walau imbauan-imbauan untuk menjauhi politisasi identitas sudah banyak digaungkan.
Namun demikian, negara juga dinilai tidak dapat secara eksesif menggunakan kekuatannya untuk membungkam ekspresi-ekspresi politik warga. Sebab, pemilu seharusnya memang ajang berekspresi yang meriah dan gembira dari setiap pemilih, kata Ubaid.
Menurutnya, perlu dibangun kolaborasi antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komnas HAM, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), juga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk menangani ini.
"Jika nanti ada mengarah kepada pelanggaran HAM soal kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, itu nanti penentunya ada di Komnas HAM. Itu harus dibangun lebih dini menurut saya untuk mengantisipasi hal seperti itu," ungkap Ubaid yang juga eks komisioner KPU RI.
"Tentu kasus per kasus, apakah itu kebebasan berpendapat, berekspresi, atau sudah mengarah kepada provokasi yang di undang-undang tidak boleh. Tapi, mekanismenya disiapkan, strukturnya bagaimana, itu yang harus disiapkan dulu," katanya lagi.
https://nasional.kompas.com/read/2022/11/17/18285741/komnas-ham-usul-dilibatkan-di-pemilu-2024-tentukan-batas-freedom-of-speech