JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo diharapkan lebih memperhatikan kinerja menterinya yang kelak mencalonkan diri sebagai presiden.
Sebab, menurut Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, menteri yang maju sebagai calon presiden (capres) dan tak mundur dari jabatannya berpotensi menyalahgunakan wewenang.
"Presiden sebagai atasan mereka untuk mengingatkan dan mengawasi," kata Hadar kepada Kompas.com, Kamis (17/11/2022).
Menurut Hadar, menteri yang tidak mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sangat mungkin memanfaatkan fasilitas dan otoritasnya di pemerintahan.
Lewat pengaruh yang dia miliki di kabinet, menteri tersebut dengan mudah melakukan upaya pemenangan pemilu presiden (pilpres) secara terselubung. Sebab, tugas dan kegiatan sebagai menteri sekaligus capres dilakukan secara paralel.
"Sangat mungkin terjadi konflik kepentingan, sebagai menteri harus berdiri untuk semua, sementara sebagai calon presiden atau wakil presiden tentu berupaya untuk kepentingan dirinya dan kelompok atau partai yang mendukungnya," ujarnya.
Selain konflik kepentingan, beban kerja menteri yang maju sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) bakal berlipat ganda.
Seorang menteri bertugas memimpin departemen dengan peran dan wewenang di tingkat nasional. Baik buruknya kinerja menteri akan berdampak luas ke jalannya pemerintahan.
Demikian juga menjadi capres/cawapres, perlu persiapan yang panjang dan menjangkau seluruh wilayah sejak tahap pendaftaran sampai pascapemungutan suara.
Hadar mengatakan, sulit untuk menjalankan keduanya secara bersamaan tanpa mengganggu salah satu peran.
"Beban kerja menjadi berlipat dan berpotensi harus ada yang dikesampingkan," katanya.
Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tak melarang menteri dan anggota DPR mundur dari jabatannya jika hendak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, para pejabat diminta sadar diri.
"Seharusnya menteri yang menjadi calon presiden atau wakil presiden mundur dari jabatannya," kata mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu.
Sebagaimana diketahui, MK membolehkan menteri yang maju sebagai capres atau cawapres untuk tak mundur dari jabatannya sepanjang mendapatkan persetujuan dari presiden dan cuti atau nonaktif. Ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 68/PUU-XX/2002.
"Saya mengabulkan sebagian permohonan pemohon, sehingga norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya," demikian kata Ketua MK Anwar Usman seperti dikutip dari laman resmi MK, Senin (31/10/2022).
"Kecuali Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, termasuk menteri dan pejabat setingkat menteri, sepanjang menteri dan pejabat setingkat menteri mendapatkan persetujuan Presiden dan cuti/non-aktif sebagai menteri dan pejabat setingkat menteri terhitung sejak ditetapkan sebagai calon sampai selesainya tahapan pemilu presiden dan wakil presiden," sambungnya.
Adapun pendaftaran capres dan cawapres baru dibuka pada Oktober 2023. Sementara, hari pemungutan suara pilpres digelar 14 Februari 2024.
Meski tahap pendaftaran dibuka setahun lagi, sejumlah nama telah menyatakan kesiapannya maju sebagai capres, seperti Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
https://nasional.kompas.com/read/2022/11/17/12451461/rawan-konflik-kepentingan-jokowi-diminta-awasi-menteri-yang-maju-capres