Salin Artikel

Zaman (Semakin) Edan: Dari Ismail Bolong hingga "Bolongnya" Dana Komando

RAMALAN pujangga ternama Keraton Solo, Raden Ngabehi Rangga Warsita alias Ronggowarsito ini, demikian bernas hingga kini.

Penerawangan cucu buyut Yasadipura yang juga pujangga utama Keraton Solo itu, kerap disetarakan dengan Raja Kediri Jayabaya dalam urusan menilik “masa depan”.

Saya begitu yakin, Ronggowarsito ketika itu tidak pernah terpikirkan ada orang beli pesawat helikopter “apkiran”, tetapi dijual mahal karena disebutnya barang baru. Atau ada polisi saling setor “fulus” ke polisi lainnya agar usaha penambangan barubara berjalan mulus tanpa rintangan.

Padahal Ronngowarsito, wafat pada 24 Desember 1873 pada usia sepuh 71 tahun.

Seabad silam, Ronggowarsito sudah menuliskan ramalan zaman edan dalam Serat Kalathida. Dari 12 bait tembang macapat Sinom, keturunan langsung Pangeran Wijil dari lingkungan ulama Kadilangu Demak, Bintara tersebut menarasikan keedanan-keedanan yang lain.

Zaman edan yang disebut Ronggowarsito karena kutukan zaman, terjadi karena keserahan bin rakus dari orang-orang yang tamak.

"Hidup di zaman edan gelap jiwa bingung pikiran, turut edan hati tak tahan. Jika tak turut batin merana dan penasaran, tertindas dan kelaparan. Janji Tuhan sudah pasti, seuntung apapun orang yang lupa daratan lebih selamat orang yang menjaga kesadaran".

Entah saya tidak mengetahui pasti apakah mantan polisi yang bernama Ismail Bolong pernah membaca serat yang ditulis Ronggowarsito ini atau belum.

Demikian juga dengan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland, Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway. Saya perkirakan dia pun tidak meminati ramalan Ronggowarsito.

Dalam dua pekan terakhir, jagat “kebobrokan” polisi ikut bermain tambang ilegal makin terkuak seiring terbongkarnya permainan penjualan barang bukti narkoba yang diduga melibatkan bekas Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa serta kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Joshua oleh bekas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.

Publik semakin “berani” membuka dan membongkar aib aparat, apalagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah bertekad membersihkan institusinya.

Jika ada ada ekor ikan yang busuk, kepala ikan harus dipotong. Itulah komitmen pimpinan Polri untuk memperbaiki citra diri Polri yang “terjun bebas” karena rentetan kasus-kasus memalukan yang dilakukan personel Polri.

Pengakuan bekas Aiptu Ismail Bolong yang pernah bertugas di Polresta Samarinda, Kalimantan Timur menjadi negasi penguat bahwa telah lama aparat ikut “bermain “ dengan “membackingi” kegiatan pertambangan ilegal.

Sebagai pengepul batubara dari konsesi tanpa izin di daerah Santan Ulu, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Ismail Bolong mengaku telah tiga kali setor dana ke petinggi Polri.

Dari September hingga November 2021, sudah Rp 6 miliar telah dipersembahkan kepada jenderal polisi.

Sejak berusaha di daerah konsensi tanpa izin yang masuk wilayah Polres Bontang itu, yakni sejak Juli 2020 hingga November 2021, Ismail Bolong memperoleh margin laba antara Rp 5 hingga 10 miliar (Kompas.com, 06/11/2022).

Ismail mengaku, dana yang disajikan ke petinggi Polri itu untuk mengamankan usahanya agar tidak diusik oleh aparat di lapangan dan mendapat perlindungan dari yang “di atas”.

Walau pada akhirnya Ismail Bolong telah membantah rekaman videonya yang sempat viral, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menengarai kasus Ismail Bolong tidak terlepas dari dugaan “perang bintang” yang melibatkan penggede-penggede kepolisian (Kompas.com, 07/11/2022).

Ismail Bolong mengaku dirinya terpaksa membuat video pengakuan adanya setoran ke Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Agus Andrianto karena ditekan bekas Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Brigjen Hendra Kurniawan, jauh sebelum kasus pembunuhan Brigadir Yoshua terjadi.

Hendra dikenal berada di kubu Ferdy Sambo bersama beberapa petinggi Polri lainnya.

Terlepas dari benar tidaknya kasus Ismail Bolong, Menko Polhukam meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuka kasus-kasus pertambangan dan keterkaitannya dengan Ismail Bolong.

Tidak itu saja, KPK harus berani membongkar modus korupsi dan mafia pertambangan. Mafia tambang ilegal bisa tetap eksis karena keterlibatan polisi dan militer yang ikut “bermain” di dalamnya.

Dari catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dari 151 titik aktivitas tambang ilegal di Kalimantan Timur, hanya tiga kasus yang sedang dalam proses hukum (Kompas.com, 6/11/2022).

Dengan demikian, kasus Ismail Bolong harusnya dijadikan “entry point” bagi pemberesan kasus-kasus tambang ilegal yang marak di berbagai daerah.

Harus diakui, aktivitas bisnis tambang seperti yang dilakukan Ismail Bolong nyatanya hanyalah memberikan keuntungan ekonomi bagi oligarki yang bersekongkol dengan oknum aparat, oknum politisi, dan oknum aparat hukum.

Cara-cara seperti ini tentu saja menimbulkan dampak destruktif yang maha luas, yakni kehancuran sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Para pemodal, broker politik, dan cukong pilkada malah menjadi agen pengaturan kebijakan di bidang pertambangan dan kehutanan, bahkan rotasi jabatan di pemerintahan daerah.

Hal tersebut makin memperjelas fakta bahwa pertambangan tidak sebatas urusan bisnis semata, tetapi juga meluas hingga ke skenario politik dan iklim demokrasi lokal.

Terhitung sejak 2005, yakni pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, sudah puluhan hingga ratusan kepala daerah dicokok dan menjadi tersangka kasus rasuah, baik oleh KPK maupun oleh Kejaksaan.

Penangkapan para kepala daerah memang termasuk ranah hukum, tetapi tidak bisa dipungkiri ada fenomena kooptasi pertambangan dan kekayaan alam di daerah yang dimainkan elite-elite.

Mendengar kisahnya, saya merinding karena dari pembelian satu butir peluru misalnya, ada sekian rupiah yang harus “disisihkan” untuk oknum militer.

Kasus korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW) 101 di lingkungan TNI-AU dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 738,9 miliar juga tidak terlepas dengan “perang bintang” di tubuh TNI.

Keinginan pimpinan TNI dan di TNI AU yang tidak klop, memunculkan peluang pengadaan helikopter AW 101 yang dipaksakan (Kompas.com, 13/10/2022).

Walau pengadaan heli AW 101 ditolak Presiden Jokowi, tetapi dengan alasan menggunakan anggaran TNI AU, pembelian pesawat heli tersebut tetap dilakukan.

Heli yang dibeli ternyata pesanan Angkatan Udara India yang batal dipesan dan sempat digunakan terbang sejak 2012.

Artinya heli yang dibeli Irfan adalah heli “bekas” dan tidak sesuai dengan spesifikasi yang diminta TNI AU.

Parahnya lagi, tim internal TNI AU pada 2017 menemukan 12 kekurangan yang ada di heli yang didatangkan Irfan. Mulai dari jumlah kursi yang kurang, riwayat jam terbang yang tidak beres, tidak ada riwayat log book engine hingga peta digital yang belum terinstal.

Yang mengejutkan lagi, jaksa KPK dalam tuduhannya terhadap kasus pengadaan heli AW 101 menyebut adanya “cash back” yang diperuntukkan untuk dana komando sebanyak 4 persen atau senilai Rp 17,7 miliar yang “mengalir” ke petinggi TNI AU ketika itu, Marsekal Agus Supriyatna.

Tersangka Irfan menikmati Rp 183,2 miliar, sementara pabrikan heli AW 101 mendapat Rp 391,6 miliar dan distributor heli AW 101 memperoleh Rp 146,3 miliar.

Dari pengungkapan kasus Ismail Bolong ataupun kasus Irfan, hendaknya semakin membuka keberanian untuk mengungkap kasus-kasus yang selama ini “tabu” atau tidak berani disentuh aparat penegak hukum.

Permainan “backing” pertambangan liar, dana komando ataupun cukong-cukong yang ingin menguasai kekayaan alam dan tambang melalui Pilkada harus dienyahkan di republik ini.

Jangan sampai ramalan tentang zaman (semakin) edan Ronggowarsito terbukti kebenarannya dari masa ke masa.

https://nasional.kompas.com/read/2022/11/09/06511511/zaman-semakin-edan-dari-ismail-bolong-hingga-bolongnya-dana-komando

Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke