SBY lalu menyayangkan hal tersebut karena menurutnya, Paris Agreement atau Persetujuan Paris yang diteken banyak negara pada 2015, termasuk Indonesia, merupakan tonggak bersejarah, capaian dan prestasi besar dunia setelah serangkaian negosiasi yang alot.
"Saat itu, saya merasakan semangat dan energi dunia tinggi untuk menyelamatkan bumi kita dari perubahan iklim dan pemanasan global," ujar SBY dalam pidatonya di Roundtable Discussion Yudhoyono Institute dengan Universitas Kebangsaan Malaysia di Hotel Fairmont, Jakarta, Kamis (13/10/2022).
"Bahkan, masing-masing sudah menetapkan targetnya, meskipun itu juga memerlukan proses untuk mengurangi emisi karbon di negaranya masing-masing," katanya lagi.
SBY mengatakan, dunia saat ini justru sibuk dengan masalah geopolitik yang semakin runcing dan malah bersiap membangun kekuatan militernya sebagai antisipasi dari ancaman perang terbuka.
Ditambah lagi, dalam keadaan banyak negara belum pulih betul dari dampak pandemi Covid-19, ancaman resesi ekonomi sudah menanti pada 2023.
Di sisi lain, mengatasi perubahan iklim membutuhkan sumber daya dan anggaran yang tidak sedikit.
Jika ekonomi suatu negara sulit, pendapatan domestik bruto menurun, maka banyak negara tidak akan mampu mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran untuk mengatasi perubahan iklim.
"Pasti resources dan effort (sumber daya dan upaya) digunakan untuk mengatasi ekonomi. Sementara pandemi belum tuntas, berapa persen kira-kira perhatian para pemimpin dunia untuk menyelamatkan bumi kita mengatasi perubahan iklim ini?" ujar SBY.
SBY menyampaikan bahwa hal ini berbahaya untuk masa depan bumi dan anak cucu.
"Saya menjadi cemas kalau (perubahan iklim) tidak lagi menjadi prioritas atau agenda utama," kata SBY.
https://nasional.kompas.com/read/2022/10/13/21145311/sby-resah-ancaman-resesi-ekonomi-akan-hambat-upaya-dunia-atasi-perubahan