Sejumlah elite politik yang digadang-gadang maju dalam kontestasi atau secara pribadi memang bernafsu ikut merengkuh kekuasaan mulai sibuk memoles diri.
Fenomena dan geliat para tokoh politik yang sibuk bergerilya membangun citra dan memoles wujud diri biar nampak seolah-olah merakyat, entah untuk tujuan jangka pendek mendongkrak dukungan sebagaimana bisa terukur oleh lembaga-lembaga survei atau tujuan jangka panjang membangun kepercayaan publik dan menggenjot elektabilitas, mulai terasa denyutnya.
Mesin politik mulai dari framing pemberitaan hingga fenomena buzzer mulai menggeliat. Barisan pasukan mulai dibentuk dan akan terus mengonsolidasikan berbagai kekuatan dan kepentingan untuk satu tujuan personal branding.
Elite politik ini mulai menghadiri kegiatan-kegiatan kerakyatan untuk mendukung pencitraannya. Sementara mesin politik buzzer bekerja dalam senyap di ranah media sosial untuk mempromosikan jagoannya baik secara halus, penuh intrik maupun terang-terangan dengan kampanye frontalnya.
Branding memang tidak jauh dari terminologi kekuasaan. Farco Siswiyanto Raharjo dalam buku "The Master Book of Personal Branding" menguak misteri branding yang sejatinya tak jauh dari strategi untuk mengambil kendali penilaian orang lain atas diri individu.
Branding sebagai strategi membentuk dan membangun citra diri (seseorang) menggiring orang lain atau masyarakat untuk hanya menilai prestasi dan pencapaian yang diraihnya.
Karena itu, branding kerap juga dipahami sebagai strategi untuk menguasai pihak lain dengan menampilkan dan menonjolkan keunikan dan ciri khas diri.
Nah, dalam upaya untuk merebut kekuasaan, branding sebuah keniscayaan. Mesin politik tak dipungkiri memang perlu digerakkan. Masyarakat perlu tahu nilai lebih seseorang dibanding yang lainnya.
Kendati branding itu wajib dilakukan, namun sejatinya tidak boleh dikemas dalam kebohongan. Branding tidak boleh mengarusutamakan kebohongan. Branding tidak boleh memproduksi kebohongan.
Sekali berbohong, maka seseorang akan terjebak pada kebohongan berikutnya. Mata rantai kebohongan diproduksi untuk menutupi kebohongan pertama. Satu kebohongan akan memproduksi kebohongan-kebohongan berikutnya.
Buya Hamka dalam bukunya "Bohong di Dunia" dengan apik dalam elaborasi filosofisnya menguak kebohongan. Ia menandaskan bahwa secara alami manusia memiliki sifat fitrah untuk condong kepada kebenaran. Seseorang berjalan menuju ke kebenaran.
Sifat fitrah inilah yang mendorong manusia menunjukkan perilaku berbeda ketika berbohong seperti berkeringat, gelisah hingga perubahan arah pandang.
Tak hanya tanda-tanda fisik yang dalam bahasa komunikasi tubuh bisa dipahami sebagai kebohongan, tetapi berbagai perilaku yang menarasikan kebohongan sejatinya juga tidak mudah dikenali karena hegemoni politiknya begitu kuat.
Filsuf politik dari Florens, Niccolo Machiavelli (1469-1527) menyebut kebohongan, manipulasi data dan kemunafikan sebagai instrumen legitim dalam pertarungan politik karena kontrak dan janji dapat saja dilanggar tanpa harus takut pada sanksi.
Begitulah, kebohongan politik bukan hal yang baru. Kekejaman politik itu sudah ada sejak zaman bahuela.
Tak mengherankan, filsuf pada era Yunani Kuno bernama Plato sudah mengumandangkan pentingnya politik yang tidak dibangun di atas pilar dusta.
Oleh sebab itu, pencapaian kekuasaan melalui branding seyogianya tidak dibangun di atas pilar kebohongan Machiavellian, bukan pula epistemologi rigoristis Kantian yang mengorbankan keselamatan manusia yang tak bersalah, tetapi epistemologi yang dapat menguak kebenaran agar mendatangkan kebaikan lebih besar, yakni kepercayaan publik.
Dengan kata lain, branding dalam konteks untuk memikat dan meningkatkan kepercayaan orang lain itu memang harus jujur dan tidak direkayasa, karena dampak kebohongan itu tidak main-main dan bahkan dapat menghancurkan masa depan masyarakat.
Selain branding yang dibuat-buat bisa menjadi bumerang dan meruntuhkan citra dan kepercayaan publik, proses branding penuh kebohongan juga melahirkan celah bagi lawan politik untuk menyusup dan meruntuhkan bangunan citra diri yang telah dibangun dengan susah payah.
Mesin politik dalam branding perlu bijak dan memiliki pertimbangan dampak jauh ke depan dalam proses membangun branding seseorang agar tidak terjebak pada seremoni-seremoni lipstik yang justru meruntuhkan kepercayaan publik.
Di sisi lain menghadapi branding lipstik, pemilih yang cerdas wajib meragukan keberpihakannya pada rakyat.
https://nasional.kompas.com/read/2022/10/05/07125121/branding-lipstik-elite-politik