Salin Artikel

Mengenang Kedekatan Buya Syafii dan Jokowi, Sang Guru Bangsa yang Didengar Presiden

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia berduka. Salah seorang tokoh bangsa, Ahmad Syafii Maarif, tutup usia pada Jumat (26/5/2022).

Buya Syafii, begitu sapaan akrabnya, merupakan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Ia mengembuskan napas terakhir di Sleman, Yogyakarta.

"Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir seperti dikutip dari keterangan resminya, Jumat.

Semasa hidup, tenaga dan pemikiran Buya Syafii banyak dicurahkan untuk kepentingan Indonesia. Selain sebagai tokoh Muhammadiyah, Buya dikenal aktif di dunia pendidikan.

Dia menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005. Setelah turun jabatan, Buya aktif di Maarif Institute, lembaga swadaya masyarakat yang didirikannya.

Buya dikenal sebagai Bapak Bangsa yang tak pernah lelah berjuang. Sosoknya disegani oleh tokoh-tokoh besar tanah air, termasuk Presiden Joko Widodo.

Buya Syafii dan Jokowi memang dikenal dekat. Presiden beberapa kali melibatkan Buya dalam isu-isu besar.

Kedekatan itu terus terjalin, hingga dua bulan sebelum kepergiannya, Buya sempat mendapat kunjungan langsung Jokowi. Itulah kali terakhir Jokowi bertemu dengan Buya.

"Selamat jalan Sang Guru Bangsa," demikian kenang Jokowi lewat unggahan di akun Twitter resminya @jokowi, Jumat (27/5/2022).

Kirim dokter kepresidenan

Ketika Buya Syafii sakit akhir Maret 2022, Jokowi menjenguk langsung ke kediamannya di Sleman, Yogyakarta.

Kala itu, Buya baru pulang dari rumah sakit setelah dirawat selama beberapa hari. Jokowi pun mengaku senang menjumpai Buya dalam kondisi sehat.

Dia juga mengajak masyarakat Indonesia berdoa untuk kesehatan Buya.

“Kita berdoa bersama agar beliau selalu diberikan kesehatan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” kata Jokowi saat itu, Sabtu (26/3/2022).

Kedekatan antara keduanya juga tampak ketika Juli 2019 Jokowi mengirimkan dokter kepresidenan ke RS PKU Muhammadiyah untuk mengecek dan memantau kondisi Buya Syafii. Ketika itu, Buya sakit dan harus diopname.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menceritakan, saat mendengar Buya Syafii sakit, presiden langsung memanggil dirinya.

Jokowi memerintahkan Pratikno untuk segera ke Yogyakarta menjenguk sekaligus melihat kondisi Buya, serta mengirimkan tim dokter kepresidenan.

"Kemarin pagi Pak Presiden memanggil saya, harus segera ke sana. Segera kirim tim dokter kepresidenan," kata Pratikno, 27 Juli 2019.

Saat itu, dokter kepresidenan yang mengecek dan memantau menyatakan bahwa Buya dalam kondisi baik. Pratikno pun langsung memberikan kabar ke Jokowi supaya orang nomor 1 itu tak khawatir.

"Saya sudah mendengar penjelasan dari dokter, kondisi Buya baik dan perkembangannya sangat bagus. Habis ini saya telepon beliau (Presiden Jokowi) agar beliau lega dan senang mendengar Buya sudah sehat," ujarnya.

Tawari kursi Wantimpres

Awal 2015 silam, Jokowi sempat menawarkan kursi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk Buya Syafii. Saat itu, Jokowi baru beberapa bulan menjabat sebagai presiden.

Namun, oleh Buya, tawaran kursi Wantimpres itu ditolaknya.

"Bukan menolak, tapi tidak bersedia," katanya kepada Kompas.com, 17 Januari 2015.

Kala itu Buya menceritakan, tawaran menjadi anggota Wantimpres disampaikan Presiden melalui Sekretariat Negara (Setneg).

Seorang deputi sumber daya manusia (SDM) di Setneg menghubunginya melalui sambungan telepon. Dalam perbincangan tersebut, Buya pun langsung menyampaikan penolakannya. Alasannya, karena usianya yang tidak lagi muda.

"Kemarin Deputi SDM Setneg nelepon saya, langsung saya jawab saya tidak bersedia. Saya ini sudah berumur," ujarnya.

Buya ketika itu tak mengungkapkan lebih jauh alasannya tidak menerima tawaran menjadi anggota Wantimpres. Namun, ia berharap keputusannya tak menjadi polemik.

Dua tahun setelah peristiwa itu tepatnya 7 Juni 2017, Buya ditunjuk sebagai anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP).

Lembaga tersebut lantas berganti menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Buya menjadi salah satu anggota dewan pengarah sejak 28 Februari 2018 hingga akhir hayatnya.

Tengahi konflik Polri-KPK

Akhir Januari 2015, Jokowi membentuk tim independen pencari fakta untuk menyelesaikan konflik antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tim itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Buya Syafii.

Sementara, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie menjadi wakil ketua, dan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menjadi sekretaris.

Saat itu, tim independen dibentuk untuk meredakan ketegangan di tengah masyarakat menyikapi penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Budi Gunawan oleh KPK.

Awal Januari 2015, Jokowi mengajukan nama Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Namun, 3 hari setelahnya tepatnya 13 Januari 2015, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.

KPK menduga, ada transaksi mencurigakan atau tidak wajar di rekening Budi Gunawan.

Atas penetapannya sebagai tersangka, BG, begitu sapaan akrab Budi, mengajukan gugatan praperadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kala itu mengabulkan gugatan BG dan menyatakan penetapan dirinya sebagai tersangka tidak sah.

Saat itu, Hakim menyatakan bahwa KPK tak punya kewenangan untuk mengusut kasus yang menjerat Budi Gunawan.

Situasi politik pun memanas. Atas polemik ini, Jokowi akhirnya menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Sebagai pimpinan tim independen dalam perkara ini, Buya Syafii sempat mengaku geram pada Jokowi. Buya menilai, Jokowi terkesan ragu dalam memutus nasib Budi Gunawan.

Buya mengatakan, tim independen sebelumnya telah memberikan sejumlah rekomendasi kepada Jokowi terkait kisruh KPK dengan Polri.

Namun demikian, Jokowi tak kunjung mengambil sikap untuk segera menyelesaikannya.

"Jokowi terlalu lambat. Semua opsi sudah kami berikan, dan setiap opsi pasti memiliki risiko," katanya di Kantor Maarif Institute, Jakarta 17 Februari 2015.

Buya kala itu mengingatkan bahwa setiap keputusan pasti mengandung risiko. Seorang pemimpin, kata dia, harus berani mengambil risiko.

"Seorang pemimpin sejati pasti berani mengambil risiko. Dilantik atau tidak dilantiknya Budi Gunawan pasti ada risikonya," ucap Buya.

Buya mengingatkan bahwa sebagai pemimpin Jokowi seharusnya lebih tegas dalam mengambil sikap. Presiden diminta tidak ragu terhadap tekanan apa pun yang ia terima.

"Sekarang Jokowi perlu nyali rajawali, jangan tiru kelelawar yang pada siang hari katanya redup. Jadilah rajawali, jangan tiru kelelawar," ujarnya.

Kendati demikian, Buya saat itu menegaskan bahwa dirinya tak ingin mempengaruhi keputusan Jokowi terkait nasib Budi Gunawan. Ia mengatakan, sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, Jokowi sudah tahu apa yang harus diperbuat.

"Sekarang tinggal begini saja, mau dengar suara rakyat atau dengar suara segelintir orang saja," tandasnya.

Sebelumnya, Buya Syafii sempat membuat pernyataan mengejutkan terkait polemik ini. Buya mengungkapkan, diajukannya nama Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri bukan atas inisiatif presiden.

Kondisi ini, kata Buya, bisa terjadi karena Jokowi diusung oleh partai politik, tetapi bukan dalam status sebagai tokoh partai

Meski dipilih oleh rakyat, Buya menyebut tekanan terbesar yang dipilih Jokowi didapat dari partai. Karena itu, dia meminta Jokowi tetap berpihak kepada rakyat.

"Dia memang diusung partai, tetapi dia dipilih rakyat. Utamakan rakyat kan paling bagus. Kalau rakyat bela Presiden, koalisi enggak akan banyak (aksi)," katanya, 28 Januari 2015.

Akhir dari polemik ini, Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sebagai gantinya, presiden menunjuk Badrodin Haiti yang lantas dilantik sebagai Kapolri pada 17 April 2015.

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/27/13545041/mengenang-kedekatan-buya-syafii-dan-jokowi-sang-guru-bangsa-yang-didengar

Terkini Lainnya

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke