Namun, ia menegaskan, masih banyak aturan yang perlu diperbaiki terkait pemberian hukuman mati tersebut.
“Seperti pengaturan tentang pembatasan-pembatasan ketat, selektif, dan fitur-fitur yang lebih menjamin hak asasi manusia (HAM),” tutur Zaenur pada Kompas.com, Rabu (25/5/2022).
Zaenur menilai, Pukat UGM setuju pemberian hukuman mati pada koruptor sepanjang memenuhi Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.
Namun, isi undang-undang itu dianggapnya perlu dilengkapi dengan ketentuan pemberian hukuman mati seperti yang diusulkan dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
“Usulan-usulan (pemberian hukuman mati) dalam RUU KUHP jauh lebih maju, termasuk adanya masa tunggu 10 tahun untuk menguji apakah persidangan benar atau terdapat kesalahan untuk menghindari terjadinya kekeliruan atau peradilan sesat,” kata dia.
Ia pun tak ingin pemberian hukuman mati dalam kasus-kasus korupsi dipakai untuk kepentingan tertentu, misalnya mencari simpati atau dukungan dari masyarakat.
“Pukat tetap setuju dengan adanya pidana mati, tetapi bukan diobral, tapi dilimitasi. Harus dipastikan pidana mati tidak digunakan pemerintah atau aparat penegak hukum mencari dukungan publik,” ujar dia.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej menyampaikan, pemberian pidana mati di Indonesia bakal terus mengundang perdebatan.
Sebab, kelompok yang menolak dan mendukung sama-sama punya mazhab teori yang kuat.
Ia mencontohkan dua kubu itu seperti aktivis HAM dan aktivis antikorupsi.
“Aktivis antikorupsi selalu berteriak pengen koruptor dihukum mati. Aktivis HAM sebaliknya, tidak boleh ada pidana mati,” kata dia dalam diskusi virtual ICJR, Selasa (24/5/2022).
“Artinya apa? Sesama teman-teman aktivis saja tidak satu kata soal pidana mati ini,” ucap dia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/25/20265441/setuju-pidana-mati-koruptor-peneliti-pukat-ugm-tetapi-bukan-diobral