JAKARTA, KOMPAS.com - Penindakan terhadap terpidana korupsi sepanjang tahun lalu belum memberikan efek jera terhadap koruptor. Tak hanya soal tuntutan rendah yang diajukan, putusan ringan yang dijatuhkan hakim pun ringan.
Di sisi lain, pengembalian kerugian keuangan negara akibat perilaku korup juga masih minim.
Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi serta pihak kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri sepanjang tahun 2021.
Dari ribuan perkara yang ditangani, rata-rata tuntutan yang diajukan oleh kedua lembaga tersebut hanya 4 tahun 5 bulan.
ICW pun membagi kasus yang dikenai pasal dengan hukuman maksimum 20 tahun penjara dengan kasus yang diancam hukuman lima tahun penjara.
Hasilnya, rata-rata tuntutan untuk perkara dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara hanya 55 bulan penjara atau 4 tahun 7 bulan.
"Jomplang sekali dengan kemungkinan dapat dihukum 20 tahun," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam jumpa pers daring, dikutip dari kanal YouTube Sahabat ICW, Minggu (22/5/2022).
Sementara, untuk perkara dengan hukuman maksimum 5 tahun penjara, rata-rata tuntutannya hanya 2 tahun 9 bulan.
Memang, kata Kurnia, terdapat peningkatan tren tuntutan dibandingkan tahun 2020. Meski begitu, ICW memandang hal tersebut belum memuaskan lantaran peningkatan trennya yang rendah.
Hal itu melihat latar belakang pelaku yang notabene adalah pejabat publik. Sehingga, menurut dia, semestinya tuntutan yang diajukan lebih maksimal.
Korps Adhyaksa tercatat menjadi lembaga yang paling banyak memberikan tuntutan ringan (0-4 tahun penjara). Total, ada 623 terdakwa yang dituntut ringan. Sementara, yang dituntut sedang (4-10 tahun) ada 587 terdakwa, dan hanya 44 terdakwa yang dituntut berat atau lebih dari 10 tahun.
"Kita tahu surat tuntutan tidak berdampak langsung pada terdakwa karena hakim memutus berdasarkan surat dakwaan. Namun, dari tuntutan, kita bisa melihat perspektif menegak hukum, apalagi mereka dianggap sebagai representasi korban yaitu dalam hal ini negara dan masyarakat," ungkapnya.
"Yang dituntut dari korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) adalah treatment (penanganan) yang juga luar biasa dan tidak sama dengan tindak pidana umum, termasuk di dalamnya tuntutan penegak hukum dan juga vonis majelis hakim," lanjut Kurnia.
Vonis ringan
Ironisnya, sudah tuntutan yang diajukan rendah, vonis yang dijatuhkan ringan.
Sepanjang tahun 2021, rata-rata vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap kasus korupsi sekitar 3,5 tahun penjara. Meski lebih berat dibandingkan tahun 2020, namun angka itu belum dinilai belum mencerminkan rasa keadilan.
"Ini tidak mengejutkan masyarakat, karena sejak Januari hingga Desember 2021, Mahkamah Agung kerap kali menghasilkan kontroversi dengan mendiskon hukuman para koruptor," lanjutnya.
"Tuntutan berat tadi ada 40-an orang, divonis tinggal 13 orang, itu juga dipotong majelis hakim," kata Kurnia.
Padahal, sama seperti pada penuntutan, jumlah koruptor yang divonis ringan oleh majelis hakim didominasi oleh pejabat publik.
"Sebanyak 80 persen perangkat desa diproses dihukum ringan. Lalu, 70 persen ASN dihukum ringan. Lebih dari setengah kepala daerah dan legislatif dihukum ringan," tambahnya.
Kedua, sebanyak 24 terdakwa yang melakukan praktik korupsi dengan memanfaatkan anggaran penanganan pandemi Covid-19 juga rata-rata hanya divonis 3,5 tahun penjara.
ICW menemukan, ada pergeseran pasal yang digunakan hakim dalam memvonis para koruptor selama 2021, yang membuat hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku rasuah menciut dari tuntutan KPK dan Kejaksaan.
Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang umum digunakan untuk kasus korupsi dengan kerugian negara yang tinggi, lebih banyak digunakan KPK dan Kejaksaan dalam menuntut koruptor pada 2021.
Namun, majelis hakim lebih banyak memutus para koruptor bersalah melanggar Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, yang umum digunakan untuk kasus korupsi dengan kerugian negara yang tidak begitu tinggi.
"Karena, kalau diubah menjadi Pasal 3, minimal hukumannya 1 tahun, sementara Pasal 2 (minimal hukumannya) 4 tahun," lanjutnya.
Pengadilan Negeri Bandung tercatat sebagai pengadilan dengan jumlah vonis ringan kasus korupsi paling banyak sepanjang 2021, yakni 75 vonis ringan.
Di bawahnya adalah PN Medan dan PN Makassar sebanyak 58 vonis ringan serta PN Palembang dan PN Surabaya dengan 45 vonis ringan.
Hanya terima ganti rugi 2 persen
Di sisi lain, tahun 2021 juga menjadi tahun di mana angka kerugian negara yang tercatat akibat kasus korupsi, terbanyak dalam lima tahun terakhir yakni sebesar Rp 62,9 triliun.
Akan tetapi jumlah pengembalian kerugian keuangan negara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap pelaku rasuah hanya Rp 1,4 triliun atau 2,2 persenya.
"Dan ini belum bisa kita klaim sebagai pemulihan kerugian keuangan negara karena ada proses eksekusi oleh jaksa eksekutor yang kadang terkendala 1-2 hal sehingga bisa menyebabkan turunnya uang ganti itu," jelas Kurnia.
Secara keseluruhan, ada 1.078 terdakwa kasus korupsi yang divonis dengan pasal korupsi kerugian keuangan negara pada 2021.
ICW menemukan, rendahnya jumlah uang pengganti ini tak terlepas dari pidana penjara pengganti pada 2021 yang, jika dirata-rata, hanya selama 1 tahun 2 bulan penjara.
Hal ini ditengarai nnembuat para terpidana pilih menjalani pidana penjara pengganti, ketimbang harus membayar uang pengganti yang jumlahnya bisa mencapai puluhan, ratusan juta, atau miliaran rupiah.
"Kita tahu pemberian efek jera tidak cukup mengandalkan pemenjaraan tapi mesti paralel dengan pengembalian kerugian negara," kata Kurnia.
Kurnia menganggap, tuntutan maupun vonis hukuman uang pengganti harus ditingkatkan pada masa mendatang.
"Karena ini berkaitan langsung dengan perekonomian negara dan juga pemulihan kerugian keuangan negara," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/23/06041641/negara-masih-bermurah-hati-kepada-koruptor-selama-2021