JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi kekerasan atau klitih di Yogyakarta kembali menjadi sorotan karena merenggut nyawa seorang pelajar sekolah menengah atas bernama Daffa Adzin Albasith (18).
Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DI Yogyakarta Kombes Pol Ade Ary Syam, korban meninggal karena luka parah pada wajah akibat terkena sabetan gir yang dilakukan pelaku. Korban merupakan anak dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kebumen, Madkhan Anis.
Dari penuturan saksi, Daffa dan rekannya yang sedang boncengan dengan sepeda motor diserang saat hendak mencari santap sahur pada 3 April 2022 lalu. Ketika itu Daffa dan rekannya berpapasan dengan pelaku dan kemudian diserang.
Kasus tewasnya Daffa menambah panjang daftar korban aksi klitih.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel membeberkan problematika yang terjadi dari sisi hukum tentang mengapa aksi klitih di Yogyakarta seakan sulit diberantas.
Menurut Reza, Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai rangkaian data tentang jumlah kejadian aksi klitih. Namun, kata dia, data tentang proses penanganan kasus-kasus itu oleh lembaga pidana justru tidak diketahui.
Padahal menurut Reza, seharusnya Polda DIY sebagai aparat penegak hukum seharusnya bisa menjelaskan tentang berapa banyak kasus kejadian klitih sampai yang bisa diselesaikan melalui mekanisme litigasi maupun diversi. Selain itu, ujar Reza, seharusnya Polda DIY juga mencatat berapa berat hukuman bagi pelaku yang diproses secara litigasi, atau bentuk diversi bagi pelaku yang ditangani secara non-litigasi.
"Tanpa data atau informasi tentang itu semua, akan terbangun kesan bahwa sistem penegakan hukum kita tidak punya kesungguhan hati untuk memproses para pelaku klitih," kata Reza saat dihubungi Kompas.com, Kamis (7/4/2022).
Reza mengatakan, data terkait penanganan tindak kejahatan kekerasan dan penganiayaan seperti klitih yang terjadi di Yogyakarta menunjukkan ada permasalahan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum setempat. Dia memperkirakan ada kecenderungan polisi enggan mengusut kasus klitih karena sekeras apa pun mereka melakukan penyelidikan tetapi hukuman yang diberikan kepada para pelaku dinilai ringan.
"Gambaran situasi itu dibaca oleh pelaku dan calon pelaku, sehingga kejadian klitih terus berulang," ucap Reza.
Reza kemudian mengaitkan persoalan penanganan dan penyelidikan kasus klitih dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Di dalam beleid itu, kata Reza, memang memberikan perlakuan manusiawi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Akan tetapi, lanjut Reza, perlakuan itu kemungkinan besar dipahami secara keliru yakni UU SPPA bisa dijadikan sebagai tameng oleh anak-anak untuk berlindung di balik hukum ketika mereka melakukan kejahatan maupun pelanggaran hukum.
"Mungkin para pelaku klitih menganggap bahwa mereka justru akan diperlakukan secara lunak oleh undang-undang. Jadi antiklimaks. Masyarakat marah, polisi bekerja tuntas, namun tuntutan jaksa dan vonis dari hakim justru memberikan korting hukuman," ucap Reza.
Reza menyarankan jika UU SPPA yang saat ini berlaku dinilai kurang efektif untuk menangani kenakalan anak-anak yang lebih brutal dan melanggar hukum, maka sebaiknya beleid itu segera direvisi.
"Kalau kita yakin bahwa kelakuan anak-anak sekarang lebih bejat dan lebih brutal, maka perlu dilakukan revisi terhadap UU SPPA. Sasaran revisi adalah pasal-pasal yang meringankan ABK (anak berkebutuhan khusus)," ucap Reza.
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/08/09170011/menyoal-aksi-klitih-dan-dilema-penegakan-hukum-