Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM-Datun) Feri Wibisono mengatakan, hasil putusan arbitase banyak mengandung bukti yang tidak benar.
“JPN (Jaksa Penuntut Negara) atas kuasa Menhan membuktikan bahwa putusan arbitrase didasarkan pada banyak bukti yang tidak benar dan ada kebohongan,” kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/2/2022).
Feri menambahkan, ada banyak kejanggalan dalam putusan arbitrase yang dipersidangkan di Pengadilan Singapura.
Kendati demikian, ia tidak secara rinci menjelaskan kejaganggalan itu. Ia hanya menyebut bukti itu mengandung unsur tipu muslihat.
“Bukti yang diajukan di persidangan arbitrase yang menjadi dasar putusan arbitrase, itu ada tipu muslihatnya,” imbuhnya.
Menurut dia, jika bukti yang diajukan sudah benar, seharusnya hasil putusan arbitase akan berbeda. Atas dasar itu, pihaknya membantu Kemenhan mengajukan gugatan.
“Sehingga diajukan perlawanan untuk tidak layak diproses eksekusi,” imbuhnya.
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, Kemenhan mengajukan gugatan dengan nomor perkara 64/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst pada 2 Februari 2022.
Gugatan meminta pembatalan arbitrase yang diajukan ke pihak Navayo International A.G dan Hungarian Exsport Credit Insurance PTE LTD.
Perkara itu menggugat bahwa Putusan Arbitrase Internasional atau International Chambers of Commerce (ICC) tanggal 22 April 2021 Nomor 20472/HTG tidak dapat diakui dan tidak dapat dilaksanakan.
Adapun dalam kasus ini diketahui sebelumnya Kemenhan mengajukan permintaan untuk mendapatkan hak pengelolaan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) saat slot orbit 123 mengalami kekosongan pengelolaan.
Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015.
Untuk membangun Satkomhan, Kemenhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016.
Padahal saat melakukan kontrak pada 2015 itu, Kemenhan ternyata belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
Akibatnya, pada 9 Juli 2019, pihak Avanti mengajukan gugatan dan pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis sekitar Rp 515 miliar.
Pada tahun 2021 pihak Navayo mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemenhan. Karena tidak dibayarkan, Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.
Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021, Kemenhan harus membayar USD 20.901.209 atau setara Rp 314 miliar kepada Navayo.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/17/17203681/pemerintah-gugat-putusan-arbitrase-satelit-kemenhan-kejagung-ada-tipu