JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) digadang-gadang bakal mengalami percepatan untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
Hal tersebut mengemuka setelah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menginginkan RUU TPKS segera disahkan.
Jokowi bahkan telah memerintahkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk segera melakukan koordinasi konsultasi ke DPR.
Namun, sebelum menantikan hal tersebut terjadi, perlu diketahui bahwa DPR saat ini sudah merampungkan penyusunan draf RUU TPKS.
Lewat Badan Legislasi (Baleg) DPR yang telah menyetujui draf tersebut pada 8 Desember 2021 yang lalu. Berikut pasal-pasal substansial yang diatur dalam draf RUU TPKS:
Atur kekerasan seksual digital
Dalam rapat Baleg, tim ahli Baleg DPR, Sabari Barus mengungkapkan bahwa draf RUU TPKS mencantumkan aturan mengenai tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik atau digital.
Hal tersebut tertuang pada Pasal 5 draf RUU TPKS. Ada dua ayat di dalam pasal tersebut.
Barus menerangkan ayat pertama yaitu mengenai isi dari tindak pidana kekerasan seksual elektronik.
"Setiap orang yang mengirim dan/atau menyebarluaskan gambar dan/atau rekaman segala sesuatu yang bermuatan seksual kepada orang lain, di luar kehendak orang lain tersebut atau dengan maksud memeras/mengancam/memperdaya agar orang itu tunduk pada kemauannya, dipidana karena melakukan pelecehan seksual berbasis elektronik dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)," demikian bunyi Pasal 5 ayat (1).
Pada ayat (2) Pasal 5, disebutkan bahwa pelecehan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan.
Bantu sembunyikan pelaku dapat dipidana
Selain itu, pasal substansial lainnya mengatur tentang jerat pidana penjara bagi mereka yang terbukti sengaja membantu pelaku kekerasan seksual agar terhindar dari hukuman.
Hal itu diatur pada Bab III draf RUU TPKS. Disebutkan, bab itu berjudul Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual.
Pasal 13 Bab 3 berbunyi "Setiap Orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun."
Sementara, Pasal 14 bab yang sama menyebut aturan tentang apa saja tindakan yang dikategorikan sebagai mencegah, merintangi atau menggagalkan proses persidangan.
Mereka bisa dijerat pidana apabila melakukan tindakan di antaranya memberikan atau meminjamkan uang, barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku, menyediakan tempat tinggal pelaku dan/atau menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.
Disebutkan, mereka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun.
Hak-hak korban kekerasan seksual
Selain itu, draf RUU TPKS juga diatur tentang hak-hak mereka yang menjadi korban kekerasan seksual.
Hal itu diatur pada Bab V mengenai "Hak Korban, Keluarga Korban, dan Saksi". Pada bagian kesatu diatur tentang hak korban.
Pasal 46 ayat 1 bab itu menyatakan ketentuan mengenai hak korban, keluarga korban dan saksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tetap berlaku, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang ini.
Ayat (2) berbunyi "Pelaksanaan Perlindungan Saksi dan Korban diselenggarakan sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini."
Pasal 47 bab yang sama mengatur bahwa "Setiap korban berhak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, baik dalam proses peradilan maupun proses penanganan di lembaga non peradilan."
Selain itu, bab ini juga mengatur hak bagi setiap penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual.
Pasal 47 kemudian dilanjutkan ke Pasal 48 yang mengatur bahwa hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas pelindungan, dan hak atas pemulihan.
Janji DPR
Sebagai pengingat, DPR sebagai pembuat undang-undang bersama dengan pemerintah, mengeklaim bakal berkomitmen mengesahkan RUU TPKS menjadi UU TPKS.
Ketua Panja RUU TPS Willy Aditya menyambut baik pernyataan Presiden Jokowi yang menginginkan RUU TPKS segera disahkan.
Kini, DPR disebut tinggal menunggu langkah selanjutnya untuk proses pengesahan RUU TPKS di rapat paripurna sebagai inisiatif DPR.
Ketua DPR Puan Maharani juga menegaskan pihaknya akan segera mengesahkan hal tersebut pada rapat paripurna setelah reses.
“Badan Legislasi DPR RI sudah merampungkan pembahasan RUU TPKS. Pengesahan RUU TPKS sebagai inisiatif DPR akan dilakukan dalam rapat paripurna setelah reses untuk kemudian kami kirimkan ke Pemerintah sehingga dapat ditindaklanjuti pada pembahasan tingkat II,” tutur Puan dalam keterangannya, Selasa (4/1/2022).
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/06/12594551/pembahasan-bakal-dipercepat-berikut-pasal-pasal-substansial-yang-hendak