JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo angkat bicara soal Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Ia menyerukan pentingnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, utamanya pada perempuan, melalui RUU tersebut.
Jokowi bahkan menyoroti proses pembahasan RUU yang tidak kunjung usai sejak 6 tahun lalu.
"Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual perlu menjadi perhatian kita bersama, utamanya kekerasan seksual pada perempuan yang mendesak harus segera ditangani," kata Jokowi dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (4/1/2022)
"Saya mencermati dengan seksama Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sejak dalam proses pembentukan pada tahun 2016 hingga saat ini masih berproses di DPR," tuturnya.
Jokowi pun memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga berkoordinasi dengan DPR agar mengebut proses pembahasan RUU TPKS.
Ia juga mengaku telah meminta Gugus Tugas pemerintah yang menangani RUU TPKS segera menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU ini.
"Sehingga proses pembahasan bersama nanti bisa lebih cepat, masuk ke pokok-pokok substansi untuk memberikan kepastian hukum, serta menjamin perlindangan bagi korban kekerasan seksual," ujar Jokowi.
Jokowi mengaku punya harapan besar agar RUU TPKS segera rampung sehingga mampu melindungi para korban kekerasan seksual.
"Saya berharap RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini dapat segera disahkan sehingga memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual di Tanah Air," kata presiden.
Diusulkan sejak 2016
Menoleh ke belakang, perjalanan RUU TPKS memang menempuh proses yang amat panjang.
Mulanya, RUU ini diinisiasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2012.
Empat tahun kemudian, RUU ini berhasil masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI Tahun 2016 sebagai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Mengutip Kompas.id, kala itu RUU PKS menjadi RUU inisiatif DPR yang ditandatangani 70 orang.
Meski demikian, hingga akhir 2016 RUU ini tidak kunjung dibahas. Pembahasan baru dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Oktober 2017.
Sejak diusulkan, pembahasan RUU PKS terus menemui jalan terjal. Hingga akhir periode DPR 2014-2019, RUU ini tak berhasil diselesaikan.
Bahkan, pada tahun 2020 RUU PKS ditarik dari Prolegnas Prioritas. RUU ini baru masuk kembali ke Prolegnas Prioritas DPR pada 2021.
Merunut mundur, pembahasan RUU TPKS sudah berlangsung sejak tahun 2016. Enam tahun sudah nasib RUU TPKS terombang-ambing tanpa ada kejelasan.
Kekerasan seksual meningkat
Sementara, kasus kekerasan seksual terus meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 yang dikutip dari Harian Kompas, selama satu tahun terakhir, 1 dari 11 perempuan mengalami kekerasan fisik ataupun seksual dari pasangan ataupun selain pasangan.
Bahkan, kekerasan fisik yang dilakukan pasangan meningkat, demikian pula kekerasan seksual yang dilakukan selain pasangan.
Tak hanya perempuan, anak perempuan dan laki-laki berusia 3-17 tahun juga mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021 menemukan, 3 dari 10 anak perempuan dan 2 dari 10 anak laki-laki mengalami satu jenis kekerasan atau lebih.
Survei tersebut dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
Selain data kekerasan selama setahun terakhir, SPHPN tahun 2021 menemukan 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya
Hal inilah yang membuat banyak pihak geram lantaran DPR tak kunjung selesai membahas RUU TPKS.
Anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luluk Nur Hamidah misalnya, dalam Rapat Paripurna DPR pertengahan Desember lalu mempertanyakan sense of crisis DPR terhadap kekerasan seksual di Indonesia lantaran pembahasan RUU ini tak kunjung rampung.
"Begitu banyak yang sudah menunggu dan menilai bahwa DPR gagal dan tidak memiliki sense of crisis adanya darurat kekerasan seksual. Enough is enough," ujar Luluk, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/12/2021).
"Saya kira kita semua tidak ingin menjadi bagian yang tidak memiliki sense of crisis tersebut," tuturnya.
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/05/06351221/instruksi-jokowi-dan-jalan-terjal-ruu-tpks-yang-sudah-6-tahun-jalan-di