Salin Artikel

Reorientasi Pembelajaran dan Riset di Lingkungan Pendidikan NU

Sejalan dengan itu, terjadi pergeseran orientasi pendidikan dunia. Menurut Thomas Hidya Tjaya (2004), sejarah pendidikan mencatat paling tidak empat bentuk dan transformasi orientasi: orientasi pendidikan yang mencari kebenaran hakiki; pendidikan untuk mengabdi pada kepentingan publik, keutamaan publik (civic virtue); pendidikan sebagai bagian dari industrialisme; dan pendidikan dalam era globalisme di mana pendidikan menjadi komoditas dan jasa yang dikomersialkan.

Itulah konteks yang melatarbelakangi praksis pendidikan nasional secara umum, dan pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) saat ini. Orientasi mandat pendidikan nasional mengalami pergeseran, baik dalam kurikulum, silabus, dan model pembelajarannya. Sesuatu yang kemudian juga berdampak pada penyelenggaraan pendidikan di lingkungan NU.

Karena itu, tulisan ini ingin menekankan urgensi reorientasi pendidikan dan pembelajaran, dan riset dalam pendidikan, khususnya di lingkungan NU.

Reorientasi pendidikan dan pembelajaran

Visi pembelajaran dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, dilihat dari hasil pembelajaran. Subjek dasar dan paling penting dalam pendidikan adalah manusia, maka orientasi pendidikan yang hendak dikembangkan pada hakikat dasar pandangan mengenai manusia yang utuh dalam tradisi ahlus-sunnah wal-jamaah.

Sarjana yang hendak dibentuk oleh proses pendidikan di lingkungan NU adalah model insan ulul-albab, insan-kamil, yaitu manusia yang memiliki optimisme transendental; berpikir kritis-dialektis; kolaboratif, bersikap dan bertindak transformatif; berakar pada budaya bangsa, dan berjiwa Pancasila.

Karena itu, proses pendidikan diorientasikan agar setiap orang mampu mengolah potensi diri, dalam berbagai dimensinya, secara seimbang dan memfasilitasi ruang sosial pengembangan dan aktualisasi optimalnya.

Kedua, dilihat dari orientasi pembelajarannya. Orientasi pendidikan berbasis riset berarti bahwa sebuah proses pembelajaran harus selalu diikuti proses invensi, yakni penemuan-penemuan baru.

Pembelajaran, dengan demikian, bukanlah sekedar mengulang, menghafal, atau meresitasi, tetapi juga sebuah “pembacaan” yang produktif, berorientasi knowledge-creation, inovatif, dan yang terpenting, berbasis pada kenyataan.

Kurikulum, silabus, dan metode pembelajaran disusun berdasarkan analisis terhadap potensi, problem, peluang, dan tantangan baik realitas lokal maupun nasional.

Pengetahuan dibangun atas dasar prinsip akumulasi. Hal ini karena permasalahan selalu silih berganti, semakin kompleks, dan luas. Dibutuhkan ilmu dan pengetahuan baru dalam rangka menjawab persoalan seiring terjadinya pergeseran permasalahan yang ada.

Dengan demikian, pengetahuan selalu berkembang, relevan, dan kontekstual. Persis di titik inilah kebijakan baru Kemendikbudristek menggeser orientasi pendidikan tinggi kita dari output based ke outcomes based. Meskipun, jika kita lihat dalam delapan Indikator Kinerja Utama (IKU) perguruan tinggi terlihat orientasi ke industrinya cukup dominan, dibanding orientasi public services.

Seabad silam, Mbah Kiai Hasyim Asy’ary sudah merumuskan dan mempraktikkan orientasi outcomes based (social impacts) ini. Menurut Agus Sunyoto (2019), gagasan pendidikan pesantren Mbah Kyai Hasyim bertumpu pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pesantren mengajarkan untuk memanfaatkan secara maksimal potensi ekonomi lokal dan sumber daya alami; ilmu pengetahuan diabdikan untuk kepentingan bangsa dan negara. Pesantren juga mengajarkan berbagai kebudayaan Nusantara yang akan menjadi alat perekat, persatuan, pertahanan, dan mobilisasi kekuatan Nusantara. Relevansi keilmuan dikembalikan pada kemanfataan dan kemaslahatan publik.

Secara metodologis, pembelajaran model seperti itu membutuhkan metodologi pembelajaran yang berbeda dengan yang konvensional. Jika menengok khasanah kekuatan dan kekayaan kebudayaan bangsa, perkembangan pemikiran mutakhir dalam kependidikan seperti konsep student-centered-learning (SCL), ternyata sudah hadir dalam akar tradisi kita.

Tengok, misalnya, kitab karya Mbah Kyai Hasyim, kitab Adabul ‘alim wal-muta’alim, yang berisi etika dan metodologi pembelajaran. Atau, Ki Hajar Dewantara yang mengusung konsep Tut Wuri Andayani, Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso. Kedua konsep tersebut kongruen dengan student-teacher-aesthetic-role-playing, konsep yang dikembangkan dari SCL.

Menurut filosofi dasar pemikiran keduanya, untuk menjadi motivator, dinamisator, pendidik, bahkan menjadi pemimpin, tidak selalu harus berada di garis depan. Dengan filosofi ini, tidak ada relasi subjek-objek, yang ada adalah relasi antar subjek yeng bersifat dialektis dan dinamis.

Proses pendidikan harus dijalani secara ngangeni, menggembirakan. Implikasinya, pendidik tidak saja dituntut untuk menguasasi materi, kreatif, dan dinamis, namun juga prigel. Sedangkan peserta didik dituntut untuk kritis, tetapi penuh respek dan sumeh (ramah, terlibat utuh, senang, dan nyaman).

Reorientasi riset dalam pendidikan

Visi pendidikan berbasis riset tidaklah diorientasikan untuk menjawab problem dualisme universalisme-partikularisme, empirisisme-rasionalisme, dan eksak-sosial-humaniora. Cara pandang yang dikotomistik dan oposisi biner serupa itu gagal dalam melihat kebenaran di posisi seberang.

Orientasi riset meniscayakan menganut pluralisme epistemologi dan pluri-metodologi yang tidak begitu saja menerima klaim-kebenaran mengenai universalisme nilai-nilai ilmiah, teori, dan metodologi keilmuan.

Semua kebenaran selalu dipandang sebagai kebenaran sementara, hipotesis, sehingga lebih menganut epistemologi kontekstual. Riset ini tidak mengingkari kebenaran umum, namun sangat menekankan konteks lokalitas yang berpengaruh pada penafsiran, pemaknaan, dan pemahaman atas data, fakta, teori, dan dalil kebenaran.

Nilai-nilai lokal ditekankan sebagai, meminjam istilah Heidegger, house of being dari pengetahuan. Lokalitas (regional dan nasional) dan kesadaran kultural dipandang sebagai titik tolak tafsir.

Pengetahuan dibentuk secara konstruktivis-kontekstualis, yang bermakna bahwa semua klaim pengetahuan (fakta, kebenaran, validitas) hanya dapat dimengerti dan diperdebatkan dalam konteks tertentu dan dalam orientasi atau komunitas tertentu pula.

Apa yang dipandang sebagai lebih valid dan lebih baik atau lebih buruk mengenai teori ilmiah, akan berbeda dari komunitas yang satu dengan lainnya. Tidak satu pun orientasi, teori, konsep, tafsir, atau pemikiran yang diterima sebagai sesuatu yang final.

Kedudukan sains dan pengetahuan, entah bersumber dari teks, eksperimen, maupun perenungan dan penalaran, pada akhirnya, sama dengan jenis pengetahuan lain. Pluralisme metodologi merupakan pengakuan atas adanya berbagai mazhab penafsiran terhadap kebenaran dan kaitan relasional antar-pengetahuan.

Sebagai dasar dalam memahami realitas, riset bertumpu pada prinsip heterologika sains, yakni adanya keanekaragaman logika keilmuan. Karena itu, model riset ini juga mengakui bahwa kenyataan memiliki jenjang yang masing-masing, memiliki logika tersendiri yang dihubungkan oleh prinsip objektif-interobjektif dan subyektif-intersubjektif.

Namun demikian, hal ini bukanlah sebuah deklarasi terhadap relativisme kebenaran, agnotisme pengetahuan, maupun anarkisme epistemologis yang mempermainkan kebenaran dalam belantara bahasa dan realitas simulacrum.

Tujuan riset dan pencarian ilmu pengetahuan terkait erat dengan apa yang dianggap penting bagi atau apa yang dihargai oleh nilai-nilai keindonesiaan, Pancasila, dan nilai-nilai ke-NU-an.

Terkait dengan itu, terdapat tiga ranah yang menandai orientasi riset. Pertama, indigenisasi-kontekstualisasi. Ilmu-ilmu sosial, humaniora, filsafat, dan ilmu-ilmu alam dan teknik, perlu dikontekstualisasikan dalam konstruksi realitas empiris dan ranah tata nilainya.

Kontekstualisasi ini menentukan pengetahuan sosial, humaniora, dan sains teknologi apa yang dibutuhkan, bermanfaat, dan tidak merusak sumber daya alam dan masyarakat. Ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, bangsa dan negara, berguna bagi kelestarian ekologi, adalah strategis dan diprioritaskan.

Kedua, konservasi. Setiap bangsa memiliki lingkungan kebudayaan yang spesifik yang terdiri dari lingkungan material (seperti karakter geografis, dan sumber daya alam) dan non-material (nilai, adat, dan tradisi), yang membentuk kesadaran historis masyarakatnya). Ilmu dan pengetahuan digali dan diserap sesuai dengan lingkungan fisik dan nonfisik kebudayaannya, serta diadaptasi, dan diterapkan untuk konservasi budaya dan alam itu sendiri.

Ketiga, “nasionalisasi” tata kelola kelembagaan ekonomi dan politik. Upaya menata kehidupan agar mencapai tujuan konstitusi dan mewujudkan kemuliaan bangsa dan masyarakat membutuhkan rekonstruksi di semua dataran, termasuk tata kelola lembaga politik dan ekonomi, agar mandiri dan berdaulat. Pengembangan ilmu dan pengetahuan seharusnya dikaitkan dan terkait langsung dengan proses penataan kelembagan tersebut.

Dengan kerangka orientasi tersebut, dalam pendidikan dan riset dapat diandalkan untuk mendorong indigenisasi tata nilai, menegakkan kedaulatan tata kelola ekonomi dan politik, konservasi sumber daya alam, dan revitalisasi-kontekstualisasi tradisi.

https://nasional.kompas.com/read/2021/12/16/11475211/reorientasi-pembelajaran-dan-riset-di-lingkungan-pendidikan-nu

Terkini Lainnya

Istana Sebut Pansel Capim KPK Diumumkan Mei ini

Istana Sebut Pansel Capim KPK Diumumkan Mei ini

Nasional
Deret 9 Kapal Perang Koarmada II yang Dikerahkan dalam Latihan Operasi Laut Gabungan

Deret 9 Kapal Perang Koarmada II yang Dikerahkan dalam Latihan Operasi Laut Gabungan

Nasional
Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping

Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping

Nasional
Jokowi Sebut Ada 78.000 Hektar Tambak Udang Tak Terpakai di Pantura, Butuh Rp 13 Triliun untuk Alih Fungsi

Jokowi Sebut Ada 78.000 Hektar Tambak Udang Tak Terpakai di Pantura, Butuh Rp 13 Triliun untuk Alih Fungsi

Nasional
Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Nasional
Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Nasional
Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Nasional
Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Nasional
Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Nasional
Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke