PANDEMI belum sepenuhnya terkendali. Pagebluk masih terus menebar kabar buruk. Kini ada "bencana" baru lagi, yakni menyusutnya hukuman bagi para terpidana korupsi.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta belakangan menjadi bahan perbincangan. Lembaga penegak hukum ini secara berturut-turut memberikan potongan hukuman bagi dua terpidana kasus korupsi.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang terdiri dari ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasati dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara.
Tak tanggung-tanggung, penegak hukum yang terbukti menerima suap, melakukan permufakatan jahat dan terlibat pencucian uang ini mendapat diskon hukuman hingga empat tahun.
Padahal, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menyatakan Pinangki terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana.
Pertama, Pinangki menerima uang suap 500.000 dolar AS dari Djoko Tjandra. Kedua, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dolar AS atau setara Rp 5,25 miliar.
Selain itu, jaksa Pinangki juga dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Anita Kolopaking untuk menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa.
Pinangki tak sendiri. Klien dan "rekan sejawat" nya dalam melakukan permufakatan jahat, Djoko Tjandra, juga mendapat bonus dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Koruptor kelas kakap yang lama buron ini mendapat potongan hukuman satu tahun, yakni dari 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6 bulan penjara.
Djoko Tjandra adalah koruptor yang menyuap jaksa Pinangki terkait upaya permohonan fatwa Mahkamah Agung (MA).
Tak hanya itu, pengusaha ini juga terbukti menyuap Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo terkait pengurusan penghapusan red notice.
Majelis hakim yang memberi rabat hukuman penjahat ini sama dengan yang memberi diskon keringanan hukuman bagi jaksa Pinangki yakni, Muhamad Yusuf sebagai ketua dengan dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, dan Renny Halida Ilham Malik.
Tuntutan ringan penilap bantuan
Ternyata, tak hanya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga membuat kejutan.
Lembaga yang dipimpin Firli Bahuri ini hanya menuntut ringan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Juliari yang menjadi terdakwa kasus korupsi bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat korban pandemi ini hanya dituntut 11 tahun penjara.
Tuntutan ini seolah mengangkangi pernyataan Firli. Sebelumnya, jenderal polisi ini bolak balik melontarkan ancaman hukuman mati bagi siapapun yang menilap dana bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat korban pandemi.
Firli mengancam pihaknya akan memberikan tuntutan pidana mati terhadap pelaku korupsi di tengah bencana.
Firli bahkan sempat menyatakan Juliari bisa terancam hukuman mati. Ancaman hukuman mati ini bisa diberikan kepada Juliari jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ancaman ini dilontarkan Firli usai Juliari ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi bansos Covid-19.
Namun, ancaman tinggal ancaman. Karena faktanya, jaksa KPK hanya menuntut politisi PDI Perjuangan tersebut 11 tahun penjara.
Tuntutan ini dinilai sangat sangat ringan bagi pejabat yang mencuri bantuan yang diperuntukkan bagi rakyat yang sedang kesusahan karena sedang menghadapi bencana non-alam.
Busyro Muqoddas mengatakan, jaksa KPK semestinya bisa memberikan tuntutan hukuman seumur hidup bagi Juliari jika tuntutan hukuman mati sulit dilakukan.
Mantan pimpinan KPK ini menilai, lembaga yang kini dipimpin Firli Bahuri tengah mengalami degradasi dan ketumpulan dari sisi filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Potongan hukuman yang diberikan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bagi penjahat kemanusiaan ini menciderai rasa keadilan masyarakat.
Ringannya tuntutan terhadap penilap bantuan kemanusiaan juga melukai hati rakyat yang sedang bertahan dan berjuang melawan penyebaran dan penularan virus asal Wuhan, China.
KPK sebagai Lembaga yang berada di garda depan pemberantasan korupsi dinilai mengabaikan suasana kebatinan bangsa yang tengah menghadapi bencana.
Kenapa Pengadilan Tinggi DKI obral diskon hukuman bagi terpidana korupsi? Kenapa Juliari hanya dituntut ringan? Ada apa sebenarnya di negeri ini?
Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (4/8/2021), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/04/09462631/obral-rabat-hukuman-penjahat