JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mempertanyakan langkah pemerintah soal penyusunan pedoman interpretasi resmi atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Feri mengatakan, pedoman interpretasi tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Mana ada (pedoman interpretasi) dalam ilmu perundang-undangan. Bahkan tidak ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 tahun 2019, apakah pemerintah tidak membaca UU?" kata Feri saat dihubungi, Kamis (18/2/2021).
Dalam UU tersebut disebutkan hierarki perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan demikian, kata Feri, pedoman interpretasi tidak dapat diterapkan sebagai regulasi atau aturan hukum.
Feri mengatakan, interpretasi atas undang-undang bukan menjadi ranah pemerintah, melainkan hakim yang memutus di pengadilan.
"Mana ada pedoman interpretasi, pemerintah tidak berhak mengintepretasi peraturan, hakim yang berwenang," ujar dia.
Feri menambahkan, jika pemerintah benar-benar ingin menghindari multitafsir atas pasal-pasal yang ada di UU ITE, maka sebaiknya UU tersebut direvisi atau diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Berbagai cara bisa agar UU menjadi rigid dan detail, misalnya revisi, uji ke MK, dan membuat aturan pelaksana yang benar," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah akan menyiapkan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE.
Hal ini disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate saat dikonfirmasi soal langkah pemerintah terkait revisi UU ITE.
"Yang perlu disiapkan segera adalah pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE," kata Johnny kepada Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
Johnny mengatakan, pembentukan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo.
Pedoman tersebut dibuat agar implementasi pasal-pasal UU ITE berjalan adil dan tak multitafsir.
Selain Kemenkominfo, pedoman ini juga akan disusun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Menurut Johnny, pedoman interpretasi resmi UU ITE bakal dibuat dalam bentuk yang bisa menjadi acuan formal dan mempunyai kedudukan hukum.
"Koordinasi pembahasannya dilakukan melalui Kemenko Polhukam," ujarnya.
Terkait target penyusunan pedoman, Johnny mengatakan akan ditentukan dalam pembahasan pertama pemerintah.
Johnny menyampaikan bahwa Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang kerap dianggap sebagai pasal karet atau multitafsir sudah beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, MK selalu menyatakan bahwa pasal tersebut konstitusional dan tak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada prinsipnya, lanjut dia, UU ITE bertujuan untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif.
Jaminan keadilan dalam UU ITE diklaim telah diupayakan pemerintah. Namun, jika pelaksanaannya tidak dapat memberikan rasa adil, terbuka peluang UU ITE direvisi kembali.
"Kami mendukung sesuai arahan Bapak Presiden," kata Johnny.
Wacana revisi UU ITE pertama kali dilontarkan oleh Presiden Jokowi. Ia mengaku bakal meminta DPR memperbaiki UU tersebut jika implementasimya tak memberikan rasa keadilan.
Menurut Jokowi, hulu persoalan dari UU ini adalah pasal-pasal karet atau yang berpotensi diterjemahkan secara multitafsir. Oleh karenanya, jika revisi UU ITE dilakukan, ia akan meminta DPR menghapus pasal-pasal tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/18/12210061/langkah-pemerintah-susun-pedoman-interpretasi-uu-ite-dipertanyakan