Sebagai buktinya, ia mengambil contoh pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terkait keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghambat investasi pada September 2019.
"Sekarang kita saksikan pelemahan KPK yang luar biasa, dan Pak Moeldoko pernah menyatakan, tapi saya gak tahu ini serius apa tidak, tapi yang pasti dia pernah menyatakan kepada publik bahwa pemberantasan korupsi itu tidak menguntungkan dari segi imperatif menarik para investor," kata pria yang akrab disapa Gus Ulil dalam diskusi virtual bertajuk "Nasib Demokrasi di Masa Pandemi", Selasa (17/11/2020).
Di sisi lain, lanjut dia, seolah-olah kebebasan politik juga tidak sesuai dengan kebutuhan untuk mencari pertumbuhan ekonomi yang diincar pemerintah.
Selain itu, ia berpendapat bahwa pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Kerja bisa mengartikan pemerintah melihat kebebasan yang kebablasan.
"Sehingga dirasakan penting untuk melakukan intervensi untuk mengecek dan mengontrol kebebasan ini," ujarnya.
Melihat kondisi saat ini yang tengah dialami Indonesia, Ulil mengaku cemas dan khawatir dengan perkembangan demokrasi dan pertumbuhan politik Indonesia yang dianggap kontradiktif.
Padahal, kata dia, Indonesia pernah memiliki pencapaian terbaik pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menunjukkan pertumbuhan perekonomian rata-rata 5-6 persen dalam satu tahun.
"Pertumbuhan yang cukup impresif sebetulnya. Dan itu dicapai dengan tidak mengorbankan politik liberty atau kebebasan politik," ucapnya.
Menurut dia, hal itu merupakan salah satu pencapaian penting yang ditunjukkan Indonesia kepada dunia terkait pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan kebebasan demokrasi.
Terlebih, lanjutnya, model ekonomi China kini dianggap oleh sebagian pejabat jauh lebih tepat untuk Indonesia.
"Jadi seolah-olah model ekonomi China yang lebih terpimpin secara politik, terkontrol semua stabil. Itu oleh banyak kalangan baik di kalangan pemerintah dan kalangan masyarakat sipil," tuturnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/17/17273211/cendekiawan-muslim-indonesia-alami-dilema-soal-kebebasan-demokrasi-dan