JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, khawatir pembentukan undang-undang yang dilakukan secara cepat dan tertutup menjadi kebiasaan baru DPR dan pemerintah.
Bivitri mengatakan, praktik pembuatan undang-undang secara sembunyi-sembunyi telah beberapa kali terjadi, antara lain pada proses revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dan penyusunan RUU Cipta Kerja.
"Kalau kita diamkan ini terus-menerus, mulai dari revisi Undang-Undang KPK, Minerba, MK, kemarin juga cuma tujuh hari, dan juga ini (RUU Cipta Kerja), lama-lama ini menjadi modus baru," kata Bivitri dalam acara diskusi bertajuk "UU Cipta Kerja vs Pemberantasan Korupsi", Kamis (15/10/2020).
"Entah undang-undang apa lagi yang akan dibuat dengan cara yang ugal-ugalan seperti ini," ucap Bivitri.
Bivitri menilai praktik penyusunan undang-undang yang sembunyi-sembunyi juga semakin frontal.
Ia mencontohkan simpang siurnya draf RUU Cipta Kerja yang sempat berganti jumlah halaman meski telah disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna.
Tak hanya itu, mereka yang mengkritik RUU Cipta Kerja justru dianggap belum membaca RUU tersebut secara lengkap.
"Kemudian menarasikan, 'Kamu kalau belum baca kamu jangan demonstrasi,' misalnya begitu. Hal-hal seperti itu jadi mengecilkan juga gerakan-gerakan atau suara dari publik, ini yang sangat menggelisahkan," tutur dia.
Oleh karena itu, kata Bivitri, setiap upaya konstitutional, mulai dari penerbitan perppu hingga pengajuan judicial review, patut diperjuangkan.
Namun, Bivitri juga mengajak publik untuk menyoroti praktik ugal-ugalan penyusunan undang-undang oleh DPR dan pemerintah agar tidak dipandang sebagai sebuah kebenaran baru.
"Kita harus suarakan terus, kalau enggak, lama-lama hal yang sebenarnya salah kalau dilakukan terus-menerus, lama-lama kita akan anggap ini benar," kata Bivitri.
Sebelumnya, draf RUU Cipta Kerja yang beredar di publik terus berubah-ubah. Setidaknya, hingga Selasa (13/10/2020), ada empat draf berbeda.
Dalam situs DPR (dpr.go.id), diunggah draf RUU Cipta Kerja dengan jumlah 1.028 halaman. Kemudian, di hari pengesahan RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, unsur pimpinan Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi dan Willy Aditya memberikan draf setebal 905 halaman.
Namun, belakangan dikatakan bahwa draf tersebut masih harus diperbaiki. Achmad Baidowi menjamin tidak ada perubahan substansi. Dia mengatakan, perbaikan hanya sebatas pada kesalahan ketik atau pengulangan kata.
Pada Senin (12/10/2020) pagi, beredar draf RUU dengan jumlah 1035 halaman. Di halaman terakhir draf tersebut ada tanda tangan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyatakan, draf tersebut hasil perbaikan Baleg DPR pada Minggu (11/10/2020) malam. Menurut dia, ada perbaikan redaksional dalam draf RUU Cipta Kerja.
Namun, pada malam harinya, kembali beredar draf RUU Cipta Kerja setebal 812 halaman. Indra menyatakan, draf berjumlah 812 halaman itu merupakan hasil perbaikan terkini.
Naskah final Undang-Undang Cipta Kerja telah diserahkan oleh Indra kepada Presiden Joko Widodo, Rabu (14/10/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/15/16325511/entah-undang-undang-apa-lagi-yang-akan-dibuat-secara-ugal-ugalan