Salin Artikel

Kabar Demokrasi di Omnibus Cipta Kerja

ADA yang absen dari diskusi pasal-pasal Omnibus Cipta Kerja: legitimasi. Bisa jadi nutrisi untuk membentuk Omnibus Cipta Kerja berangkat dari hal mulia. Pemangkasan birokrasi. Kemudahan perizinan. Ujungnya ramah investasi. Logika yang dibangun, dengan investasi yang progresif, lapangan kerja terbuka. Kolestrol hambatan bagi pertumbuhan ekonomi terkikis.

Namun, maksud mulia tentu harus diiringi cara yang elok. Membayangkan RUU Omnibus Cipta Kerja yang setebal 905 halaman dan 186 pasal dengan lebih dari 70 UU yang dikupas, selesai dalam jangka waktu enam bulan, rasanya membuat merinding bulu kuduk.

Dipastikan, Pemerintah, DPR dan DPD, kerja ngebut. Nyisir Daftar Inventaris Masalah (DIM) satu persatu, kurang istirahat dengan perdebatan antar pasal yang tak terbayangkan.

Namun apakah itu cukup? Apakah yang legal selalu legitim? Apakah prosedural dosisnya setara dengan substansial?

Maka, tulisan ini hendak menulis sisi lain yang mungkin kurang mendapat perhatian. Mutu legitimasi dalam pembentukan hukum di negara demokrasi.

Demokrasi deliberatif

ADA pakar filsafat yang sangat peduli soal soal partisipasi, diantaranya, Juergen Habermas. Filsuf kebangsaan Jerman ini mengajukan gagasan yang dinamakan demokrasi deliberatif. Dipaparkan dengan apik oleh F Budi Hardiman, dalam buku Demokrasi Deliberatif (2009).

Menurutnya, demokrasi deliberatif berasal dari kata Latin, “deliberatio” yang dalam bahasa Inggris menjadi “delibration”. Konsultasi atau menimbang-nimbang.

Jadi, teori demokrasi deliberatif itu tidak memusatkan diri pada penyusuan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan warga. Melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu.

Dengan kata lain, model demokrasi deliberatif meminati persoalan-persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif yang misalnya tercermin pada keputusan hukum oleh negara.

Jadi, dalam paradigma demokrasi deliberatif, legitimitas tidak terletak pada hasil komunikasi politik. Atau produk hukum. Namun, pada proses komunikasinya. Atau pada proses penyusunan produk hukum.

Intinya, betapapun koheren, sistematis dan estetisnya suatu kebijakan publik—misal---dibingkai untuk kesejahteraan pekerja, kemudahan investasi dan bahkan memberantas korupsi---namun jika tidak lebih dahulu diuji secara diskursif dalam terang publik atau ditetapkan begitu saja oleh otoritas. Maka, kebijakan atau produk hukum misalnya itu, tidak mendapat legitimitas.

Dalam kasus RUU Omnibus Cipta Kerja, Bivitri Susanti (Politik Hukum Omnibus Cipta Kerja, Kompas,10 Oktober 2020:6) menyebut proses pembentukan RUU Cipta Kerja sebagai proses ugal-ugalan. Tidak partisipatif dan tidak transparan.

Tim naskah dan RUU didominasi oleh pengusaha. Padahal banyak pasal-pasal yang membahas nasib pekerja.

Dokumen pun baru dipublikasikan Februari 2020—ketika tahap pembahasan.

Sisi lain, Pasal 96 UU Nomor 12 tahun 2011 sebagaimana diubah UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan hak masyarakat memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pembentukan itu sendiri didefinisikan mulai tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Jadi, tidak hanya di tahap pembahasan. Namun di semua tahapan, masyarakat berhak memberikan masukan.

Bivitri juga memotret anomali pembahasan Omnibus Cipta Kerja. Pembahasan dilakukan di masa reses dan pandemi Covid-19 yang meningkat. Lokasi pembahasan di hotel-hotel mewah. Bahkan keberatan anggota DPR dari Partai Demokrat dan PKS saat rapat paripurna diabaikan.

Cedera demokrasi

Akibat minim partisipasi dan transparansi di atas, ibarat pepatah lama, ada asap, ada api, maka reaksi hebat demonstrasi besar di awal Oktober pasca persetujuan UU Cipta Kerja merupakan hal sukar dielakan.

Pasti ada ekses. Perusakan benda publik. Luka dan cedera di dua belah pihak (aparat dan pendemo). Serta proses-proses hukum pada pelaku yang dianggap anarki. Memprihatinkan dan duka cita kita semua.

Tentu, hal ini seharusnya bisa diantisipasi ketika kadar partisipasi dan transparansi sedari awal ditingkatkan mutu, dosis dan praktiknya.

Bagi penulis, ke depan harus ada solusi. Dalam benak penulis ada dua kemungkinan.

Pertama, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menunda UU Cipta Kerja.

Atau, kedua, para pihak yang merasa dirugikan secara konstitusional melakukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam konsep perlindungan hukum, model mengajukan ke MK merupakan model---dalam perspektif teori Philipus M Hadjon (Perlindungan Hukum,1987)---perlindungan hukum represif yaitu perlindungan diberikan lembaga peradilan saat setelah ada sengketa.

Tentu, lebih indah lagi, jika perlindungan hukum preventif yang dimajukan. Yakni optimalisasi pembahasan suatu rancangan produk hukum sebelum disahkan dengan memastikan pihak pemangku kepentingan—khususnya yang terkena kebijakan----dilibatkan.

Ada pelajaran yang dapat dipetik. Ke depan, kita harus membenahi sistem demokrasi kita. Menurut Yudi Latif, konsolidasi demokrasi yang bersandar semata pada demokrasi prosedural tidaklah cukup memadai. Demokrasi prosedural sebatas dimaknai kemerdekaan rakyat memilih pemimpinnya.

Namun, demokrasi prosedural harus ditutup celah potensi kecacatannya dengan demokrasi substansial. Demokrasi yang membawa kebijakan publik dikontestasi terbuka dan partisipasi publik niscaya didalamnya.

Dalam demokrasi yang ideal ruang publik menduduki tempat sentral. Ruang publik adalah arena di mana para warga dapat menyampaikan aspirasinya kapan pun.

Namun ruang publik ini harus dijaga agar tidak dikolonialisasi oleh salah satunya fundamentalisme pasar di mana dalam tulisan Gusti AB Meloh (2015:200), fundamentalisme pasar berambisi menjadikan mekanisme pasar bukan hanya sebagai prinsip pengatur kinerja bidang ekonomi, tetapi sebagai satu-satunya prinsip pengatur seluruh bidang kehidupan dalam semesta tatanan bermasyarakat.

Dengan demikian, dalam pandangan F Budi Hardiman, ruang publik harus dijernihkan dari pelbagai penyakit yang berpotensi melumpuhkannya sehingga ruang publik dapat berperan sebagai “papan pantul untuk masalah-masalah” atau “sistem peringatan dengan sensor-sensor yang tidak terspesialisasi namun sensitif ke seluruh masyarakat”.

Pada akhirnya kita harus merenungi tiga hal, khususnya pada pemangku kekuasaan.

Pertama, apakah demokrasi yang serba voting, serba mayoritas dan sangat liberal ini sudah sesuai dengan amanah pendiri negara dalam Pembukaan UUD 1945 yang menghendaki musyawarah itu bukan sekedar otak atik jumlah suara.

Kedua, bagaimana mendorong agar akses informasi, partisipasi publik dan transparansi menjadi tiga indikator yang bisa menjadi bagian untuk menentukan keabsahan produk hukum.

Ketiga, bagaimana masa depan demokrasi jika terbiasa kebenaran ditunggalkan. Bukankah kebenaran di ruang publik seharusnya hasil diskusi, tukar tambah gagasan, dan perdebatan rasionalitas antar pemangku kepentingan. Ini menuntut kearifan semua pihak demi republik yang kita cintai bersama.

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/11/09023081/kabar-demokrasi-di-omnibus-cipta-kerja

Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke