Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) itu diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004.
Suciwati masih ingat awal pertemuannya dengan Munir di tahun 1991.
Pada masa itu, Suciwati aktif di gerakan buruh Malang. Ia mengadvokasi kasus-kasus yang dialami buruh perempuan, seperti pelecehan hingga perampasan hak.
Suatu ketika, beberapa teman aktivisnya meminta Suciwati datang ke sebuah acara diskusi yang diadakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Malang mengenai hukum perburuhan.
Acara diskusi itulah yang menjadi momen pertemuan antara Suciwati dengan Munir untuk pertama kali.
“Waktu itu hari Minggu, saya lagi kerja lembur, tapi saya sempatkan mampir. Di situ saya bertemu pertama kali. Tahun 1991,” kata Suciwati dalam sebuah wawancara dengan Kompas.com di tahun 2019.
“Saya diajak ke diskusi dan dikenalkan sama mereka (aktivis buruh). Cuma sebentar bertemu dan saya pergi begitu saja," sambungnya.
Keduanya kemudian kerap bekerja sama ketika Munir bertugas mengelola LBH Malang tak lama setelah pertemuan tersebut.
Munir dan Suciwati saling berbagi tugas di LBH. Munir mengelola gerakan mahasiswa melalui diskusi rutin, sementara Suciwati tetap berkutat pada gerakan buruh.
Pertemuan keduanya semakin intens ketika Munir menjadi kuasa hukum Suciwati dalam kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
Keduanya kemudian memutuskan untuk berpacaran pada tahun 1992. Empat tahun kemudian atau pada 1996, keduanya menikah.
Pada awalnya, Suciwati sebetulnya enggan menjalin hubungan pribadi dengan Munir.
Ia mengaku khawatir hubungan tersebut malah merusak cita-cita mereka yakni membangun gerakan buruh.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Karisma Munir tak mampu ia tolak.
Suciwati pun semakin jatuh cinta saat Munir menjadi pembicara dalam diskusi tentang analisis gerakan buruh di Indonesia dan membandingkannya dengan gerakan sosial di negara Amerika Latin.
"Aku lihat dia keren sekaligus mengerikan. Zaman itu ya, saya merasa bisa saja di antara peserta itu ada BIN yang tiba-tiba bawa pistol dan menembak dia karena saking kritisnya," ujar Suciwati sambil tertawa kecil.
Di matanya, Munir merupakan sosok laki-laki sempurna. Suciwati menyebut suaminya sebagai orang yang pintar, berintegritas, dan peduli terhadap sesama.
Satu hal yang paling berkesan bagi Suciwati adalah Munir tidak gila kuasa.
Namun, di sisi lain, Suciwati menyadari ada risiko yang membayangi dari keputusannya menikah dengan Munir.
Suaminya, sebagai seorang aktivis yang kerap menentang pemerintah dan korporasi, lekat dengan intimidasi.
Suciwati melalui ruang-ruang kengerian bersama sang suami ketika masih hidup.
Puncak yang paling mengerikan adalah ketika sang suami meregang nyawa karena senyawa arsenik di tubuhnya.
"Banyak ruang yang pastinya mengerikan dan buat saya memilih dia karena yakin, saya mengerti dan memahami apa yang dia kerjakan. Jadi, kami seperti dalam satu frame yang sama. Saya juga tahu apa risikonya menikah dengan dia," ucap Suciwati.
Tahun demi tahun berlalu, tetapi keinginan Suciwati agar pemerintah mengungkap dalang pembunuhan Munir masih terus membara.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/08/13214041/kisah-cinta-munir-dan-suciwati-risiko-hingga-kengerian-yang-dilalui