Hal itu diceritakan pewarta foto yang meliput Istana Kepresidenan di era Presiden Soeharto, Enny Nuraheni, dalam sebuah webinar pada Selasa (19/8/2020).
"Zaman Pak Harto jangan ditanya. Susah banget urus ID istana. Saya digojlok benar-benar untuk mengurus mendapatkan ID Istana, dua tahun. Dua tahun baru lulus screening (penyaringan)," kenang Enny.
Selama dua tahun itu, setiap hari Enny harus mengurus ID liputan mingguan ke Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dan Sekretaris Militer Presiden.
Awalnya ia hanya memperoleh izin liputan dua kali seminggu selama tiga bulan. Tiga bulan berikutnya ia mendapat izin liputan mingguan. Tiga bulan berikutnya ia mendapat izin liputan bulanan.
Tiga bulan kemudian dia mendapatkan izin liputan per tiga bulan, lalu berlanjut hingga izin liputan selama enam bulan.
Namun setelah mengikuti sederet persyaratan tadi dia tidak diluluskan untuk mendapat izin liputan tetap.
Ia juga telah mengikuti berbagai macam tes pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan yang diwajibkan untuk bisa mendapat ID.
"Terus saya tanya kenapa sudah di-screening, tanya jawab siapa kakek sampai nenek, sampai kakakku kerja di mana. Dibilang Pak Imam Sulardi Sekmil, saya enggak lulus karena saya enggak nasionalis," kata Enny.
"Saya ditanya 'kenapa kamu kerja di pers asing?'. Aku bilang, 'hah, cuma karena di pers asing berarti aku enggak nasionalis'," kenang Enny lantas ia tertawa.
Kendati demikian Enny tak menyerah. Ia mengikuti seluruh kemauan Sekretaris Militer Presiden untuk hadir di Istana Kepresidenan hampir setiap hari demi mendapat ID liputan tetap.
"Begitu aku lulus ngantongin ID Istana, ya sudah Pak Imam yang tadinya benci sama saya, eh malah sayang banget sama aku," kenang Enny lagi.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/19/09561211/cerita-fotografer-istana-era-soeharto-wajib-dites-pancasila-untuk-dapat-id