Charles mengatakan, undang-undang lain yang ia maksud adalah Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Dalam berbagai perdebatan, ya, dan masukan yang kami terima dari beberapa stakeholder alangkah baiknya apabila aturan sanksi pidana yang sudah diatur dalam UU lain tidak lagi diatur di UU PDP," kata Charles dalam diskusi virtual bertajuk 'Urgensi Otoritas Pengawas Independen dalam Perlindungan Data Pribadi', Senin (10/8/2020).
Charles juga mengatakan, aturan sanksi yang sudah diatur dalam UU lain tak diatur lagi dalam RUU PDP agar tidak terjadi tumpah tindih.
"Sanksi yang sudah diatur UU lain, sehingga akan tumpang tindih, kalau kita perhatikan dari UU yang sudah ada UU ITE, KUHP itu kan pasal-pasal dalam UU yang ada pun sudah bisa menjerat orang-orang yang menyalahgunakan data pribadi," ujarnya.
Lebih lanjut, Charles menjelaskan, sanksi dalam RUU PDP dititikberatkan pada pemberian sanksi denda dan admistrasi.
Ia mencontohkan, apabila dalam sebuah badan swasta terjadi kebocoran data, maka dengan adanya UU PDP dapat dijatuhkan sanksi denda atau admistrasi.
"Dan ini juga berlaku di negara-negara lain, kita mengacu pada GDPR (General Data Protection Regulation) negara-negara Eropa, mereka lakukan sanksi denda yang tidak kecil gitu terhadap badan-badan yang lalai dalam melakukan perlindungan data pribadi," pungkasnya.
Adapun, RUU PDP merupakan RUU inisiatif pemerintah dan masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2020.
Saat ini, RUU PDP dalam proses menerima masukan dari pakar, akademisi serta penyerahan DIM dari seluruh fraksi di DPR.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/10/18411321/sanksi-soal-data-pribadi-yang-sudah-diatur-di-uu-lain-dinilai-tak-perlu