JAKARTA, KOMPAS.com - Perjalanan panjang kasus hukum Etty binti Toyib, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Majalengka, Jawa Barat, telah mencapai titik akhir.
Etty akhirnya bisa menghirup udara bebas. Ia sempat didakwa membunuh majikannya Faisal al-Ghamdi pada 2001 dan dijatuhi hukuman mati di Arab Saudi.
Pembebasan itu tidak berlangsung tanpa hambatan. Menurut Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri yang kala itu masih dijabat Lalu Muhammad Iqbal, proses pembebasan Etty bukan perkara mudah.
Ia mengungkapkan beberapa kesulitan untuk membebaskan Etty dari hukuman mati, antara lain dalam memberikan bantuan advokasi.
Iqbal menjelaskan, kasus yang menjerat Etty terjadi sebelum tahun 2011. Saat itu, sistem perlindungan WNI di luar negeri belum memadai.
"Karena ini masuk sebelum periode 2011. Jadi ketika sistem perlindungan WNI di luar negeri tersebut belum memadai," ujar Iqbal dalam rapat dengan Tim Pengawas Perlindungan TKI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Di sisi lain, lanjut Iqbal, pemerintah tidak memberikan pendampingan sejak awal kasus tersebut diproses oleh pihak otoritas Arab Saudi. Iqbal menuturkan, dalam beberapa kasus, WNI yang menghadapi proses hukum tidak diberikan penerjemah.
Tak jarang mereka diminta menandatangani surat pengakuan dengan janji akan segera dipulangkan.
"Karena disampaikan seperti itu, kemudian dia tanda tangan dan itulah yang jadi pegangan hakim. Itu yang menyebabkan situasi ini sangat sulit," kata Iqbal.
Kendati demikian, pemerintah tetap berupaya agar hukuman Etty bisa diringankan karena hukuman mati atau qisas bisa dimaafkan oleh ahli waris korban. Setelah dimaafkan, kasus tersebut akan dituntaskan dengan diyat.
Pemerintah pun membentuk tim penasihat hukum dan melakukan pembicaraan dengan ahli waris. Tim meminta ahli waris menyampaikan tawaran tertulis mengenai persyaratan pemaafan Etty.
Tebusan Rp 15,5 miliar
Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh mengatakan, proses negosiasi dengan keluarga korban berlangsung cukup alot.
Menurut dia, keluarga korban tetap ingin Etty dihukum mati karena dianggap sebagai penyebab meninggalnya Faisal.
Namun, pada akhirnya keluarga korban mau memaafkan dan meminta diyat tebusan 4 juta riyal atau sekitar Rp 15,5 miliar.
"Etty Toyib lolos dari hukuman mati setelah membayar diyat tebusan 4 juta riyal atau Rp 15,5 miliar, setelah mendekam di penjara selama 20 tahun," kata Agus melalui keterangan tertulis, Senin (6/7/2020).
Adapun uang diyat tersebut didapat dari sumbangan berbagai pihak di Indonesia.
Mereka yang menyumbang di antaranya Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Nahdlatul Ulama yang telah memberikan sumbangan sebesar Rp 12,5 miliar atau 80 persen dari jumlah diyat tebusan.
Selain itu, pihak lain dermawan santri, kalangan pengusaha, birokrat, politisi, akademisi, masyarakat Jawa Barat, dan komunitas filantropi.
Dana dikumpulkan selama tujuh bulan dan telah disampaikan ke keluarga korban, tepatnya satu tahun lalu. Agus pun mengapresiasi pihak yang telah menyumbang dana diyat tebusan untuk Etty.
"Ungkapan apresiasi juga disampaikan kepada para dermawan di Indonesia yang menyumbang sehingga mencapai Rp 15,5 miliar," ujarnya.
Setelah bebas, Etty dipulangkan ke Tanah Air. Menurut Agus Maftuh, Etty dijadwalkan tiba di Jakarta pada Senin (6/7/2020) pukul 16.05 WIB.
Demi mempercepat proses pemulangan Etty Toyib, Agus Maftuh menemui penasihat Raja Salman bin Abdul Aziz Al-saud, yakni Pangeran Khalid al-Faisal Al Saud, yang juga menjabat Gubernur Mekkah.
Pertemuan itu dilakukan pada Senin, 10 Februari 2020, didampingi Koordinator Perlindungan WNI KBRI Riyadh Raden Arief dan atase hukum Rinaldi Umar. Pertemuan itu berlangsung di kantor Pangeran Khalid al-Faisal di Jeddah.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/07/07251511/penantian-panjang-etty-toyib-bebas-dari-hukuman-mati-di-arab-saudi