JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Uung Sendana mengatakan, isu mengenai suku, ras, agama dan antargolongan (SARA) masih menjadi persoalan di Indonesia.
Menurut Uung, persoalan ini akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang majemuk.
"Kita tahu bahwa Amerika telah ratusan tahun masih belum mengatasi persoalannya," kata Uung dalam diskusi online bertajuk Kerusuhan Rasial di Amerika Serikat: Pelajaran Berharga Bagi Indonesia, Kamis (11/6/2020).
"Sebetulnya di Indonesia, walaupun kita telah merdeka 75 tahun dan kita mempunyai Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika, kita masih merasakan beberapa persoalan di negara kita terutama di dalam bidang SARA," ujar dia.
Uung mencontohkan masalah SARA yang terjadi di Indonesia, antara lain kasus kekerasan yang dialami masyarakat Papua.
Kemudian, polemik antara Etnis Madura dan Dayak di Kalimantan Tengah serta kasus SARA yang kerap muncul saat pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
"Kita selalu menghadapi persoalan senantiasa adanya diusung masalah-masalah SARA ini," ungkapnya.
Masalah lainnya, lanjut Uung, adalah masalah tindakan rasisme terhadap masyarakat etnis Tionghoa.
Ia berharap persoalan ini dapat segera diselesaikan. Pasalnya, isu SARA akan mempengaruhi masyarakat etnis Tionghoa dengan tingkat ekonomi yang lemah.
"Sebetulnya kalau terjadi permasalahan SARA atau etnis itu akan terdampak yang paling besar karena mereka tidak mempunyai ekonomi yang baik," ungkapnya.
"Jadi sebetulnya kita, setiap etnis suku bangsa, agama, dan sebagainya harusnya bahu-membahu untuk membangun negara kita tercinta dan mengatasi perbedaan kita," ucap Uung.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu marak terjadi aksi unjuk rasa di Amerika Serikat.
Aksi tersebut dipicu oleh peristiwa tewasnya warga berkulit hitam bernama George Floyd karena lehernya ditindih oleh polisi.
Tindakan polisi tersebut membuat masyarakat marah karena peristiwa tewasnya Floyd dinilai kental dengan unsur rasisme.
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/11/16213721/isu-sara-dinilai-masih-jadi-persoalan-di-indonesia