JAKARTA, KOMPAS.com - Kalangan pengusaha menyambut baik kebijakan pemerintah yang membolehkan pembayaran tunjangan hari raya (THR) dengan cara dicicil.
Namun, kebijakan itu mendapat penolakan dari kelompok pekerja. Terlebih di tengah kondisi kesulitan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.
"Mayoritas masyarakat tidak setuju apabila THR mereka dicicil," ujar peneliti Trade Union Rights Centre (TURC) Anang Fajar Sidik saat memaparkan hasil survei secara daring, Minggu (17/5/2020).
Dari 665 responden yang disurvei pada rentang waktu 1-11 Mei lalu, 78 persen di antaranya menyatakan tidak setuju apabila THR mereka dicicil.
Mereka beralasan pandemi Covid-19 telah berdampak cukup signifikan pada sektor perekonomian mereka.
Sehingga, mereka merasa kebutuhan dasar mereka sulit untuk dipenuhi selama masa pandemi.
"Karena kembali lagi soal kebutuhan dasar. Mereka ingin THR ini untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari," ucapnya.
Dari total responden yang disurvei, 21 persen dari mereka dirumahkan oleh perusahaan masing-masing dengan upah tidak penuh.
Sementara, hanya 2 persen yang dirumahkan menerima upah penuh.
Adapun mayoritas dari mereka tetap masuk bekerja dengan upah penuh (38 persen), dan hanya 9 persen yang bekerja dengan upah tidak penuh.
Sedangkan yang bekerja dari rumah dengan upah penuh sebesar 16 persen dan 6 persen yang bekerja dengan upah tidak penuh.
Survei tersebut dilakukan dengan probability sampling dengan pendekatan multimethod, serta memiliki margin of error sebesar 5 persen.
Sebelumnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menerbitkan peraturan tentang pemberian THR.
Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi Covid-19.
SE tersebut mengatur penundaan pemberian THR maupun besaran THR yang tidak diberikan secara penuh atau sesuai dengan kemampuan perusahaan atau secara bertahap.
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/17/19162851/survei-turc-mayoritas-pekerja-menolak-pembayaran-thr-dicicil