Perpres tersebut diterbitkan pasca-Putusan Mahkamah Agung Nomor 7/P/HUM/2020, yang membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunto Wibawa Dasa mengatakan, diterbitkannya perpres tersebut sebagai upaya untuk membangun ekosistem program jaminan kesehatan nasional (JKN).
Utamanya, kata dia, agar program tersebut tetap berjalan dengan sehat dan berkesinambungan.
Salah satunya dengan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan yang dicantumkan dalam perpres tersebut.
"Penyesuaian iuran JKN lebih supaya program berkesinambungan dan memberikan layanan tepat waktu serta berkualitas termasuk terjangkau untuk negara dan masyarakat," kata Kunto dalam media briefing secara online, Kamis (14/5/2020).
Ia mengatakan, bagi negara, harus ada arahan berapa besaran iuran yang bisa dilakukan JKN, dan terjangkau sesuai kemampuan masyarakat.
Besaran iurannya pun, kata dia, harus sesuai dengan perhitungan aktuaria (ilmu pengelolaan risiko keuangan).
Dari perhitungan aktuaria, besaran iuran BPJS Kesehatan bagi para pesertanya justru lebih besar.
Besaran iuran untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) mandiri kelas I bisa mencapai Rp 286.000, kelas II mencapai lebih dari Rp 184.000, dan kelas III Rp 137.000.
"Itu murni perhitungan aktuaria, tapi kami tak menetapkan besaran itu dan lebih disesuaikan dengan kemampuan membayar masyarakat," kata dia.
Ia mengatakan, berdasarkan peraturan, besaran iuran juga perlu ditinjau secara berkala.
Terakhir kali kenaikan iuran BPJS adalah pada 2016. Bahkan, untuk kelas III PBPU sejak tahun 2014 belum ada penyesuaian sama sekali.
Dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020, iuran peserta BPJS dibagi ke dalam tiga segmentasi.
Pertama, penerima bantuan iuran (PBI) kelas III adalah sebesar Rp 42.000 yang nilainya sama dengan Perpres 75 Tahun 2019.
"Semua dibayar pemerintah, tapi untuk jamin keberlangsungan di sini ada pemerintah daerah yang bisa kontribusi dan membayar iuran," kata dia.
Ia mengatakan, dalam perpres tersebut juga konsep PBI hanya satu, yakni PBI pusat dan tidak ada daerah.
Artinya, PBI yang di-cover sesuai data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang merupakan 41 persen dari penduduk Indonesia terbawah.
Kedua, pekerja penerima upah (PPU) pemerintah dan badan usaha cara iurannya disamakan, yakni porsi pemberi kerja 4 persen dan pekerjanya 1 persen dengan batas atas take home pay Rp 12 juta dan batas bawah sesuai UMR kabupaten/kota.
Ketiga, peserta bukan penerima upah atau pekerja (BP) yang memiliki dua konsep, yaitu mandiri dan ada yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (pemda).
"Jadi nanti pendaftaran pemda masuk ke dalam klaster ini, tapi khusus kelas III," kata dia.
Berikut adalah nilai iuran BPJS Kesehatan sesuai Perpres Nomor 64 Tahun 2020:
- Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
- Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
- Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kemudian pada tahun 2021, iuran peserta kelas III akan berubah menjadi Rp 35.000 dengan selisih sekitar Rp 7.000 yang juga akan dibayarkan pemerintah pusat atau daerah.
Iuran Rp 35.000 itu bahkan nantinya bisa dibayarkan pemda sebagian atau seluruhnya.
"Bantuan (subsidi) ini diberikan pada peserta yang status aktif. Jadi kalau aktifm pemerintah baru akan beri bantuan sebesar Rp 16.500 atau Rp 7.000. Kalau tidak aktif, pemerintah tak bayar," ucap Kunto.
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/14/15222451/pemerintah-sebut-iuran-naik-agar-program-bpjs-kesehatan-berkesinambungan