Salin Artikel

Membangun Jembatan, Refleksi dari Sekolah Demokrasi LP3ES

Ada seorang ketua partai dan sekaligus pimpinan DPRD di Sulawesi Tenggara, aktivis keagamaan di Bangka Belitung dan jurnalis perempuan dari Surabaya.

Namun dari mana pun asal mereka, satu hal yang mempersatukan mereka dan menjadi alasan mereka hadir di sana adalah kepedulian akan masa depan demokrasi di Indonesia.
Ya, mereka adalah para peserta Sekolah Demokrasi angkatan pertama yang diadakan oleh LP3ES.

Dari 260 pendaftar yang berasal dari seluruh penjuru negeri, mereka adalah 33 orang yang terpilih, terdiri dari 7 akademisi, 9 politisi, 6 tokoh masyarakat, 3 penyelenggara pemilu, 3 jurnalis dan 5 mahasiswa.

Ada sembilan peserta perempuan dan ada sembilan orang dari luar Jawa. Mereka terpilih melalui seleksi ketat yang mempertimbangkan kombinasi dari sisi latar belakang aktivisme, gender dan tempat asal.

Mengapa keragaman ini penting?

Karena sekolah demokrasi ini didirikan dengan niat sangat sederhana. Kami mau membangun satu forum yang bisa menjadi jembatan bagi aktor-aktor progresif dari berbagai latar belakang untuk bertemu dan berdialog.

Keragaman latar belakang menjadi kekayaan. Hal ini karena seringkali tiap aktor politik berbicara dalam keterbatasan perspektif mereka masing-masing yang dipengaruhi oleh posisinya berada.

Ini kemudian menciptakan situasi ketika masing-masing aktor saling menyalahkan satu sama lain. Akademisi bersikukuh bahwa politik para elite telah menjelma menjadi sekumpulan oligarki predator yang membajak demokrasi ke arah yang sangat membahayakan masa depan bangsa.

Namun di sisi yang lain, kami dapati keadaan bahwa partai politik merupakan satu institusi yang nyaris tak berubah setelah dua dekade reformasi dengan segala permasalahannya: politik dinasti, kaderisasi yang lambat, korupsi elite dan politisi muda yang berkompetisi dengan praktik lama.


Kritik keras kalangan ilmuwan dari dalam menara gading kampurnya sama sekali tak berpengaruh pada praksis politik yang berlangsung “di luar sana.”

Jika kedua aktor ini kebetulan bertemu, seperti kita saksikan di berbagai talkshow di layar kaca, yang terjadi adalah pemandangan yang menyesakkan.

Keduanya seolah berbicara dari dunia yang sama sekali berbeda. Perdebatan sengit antara Emil Salim dan Arteria Dahlan bisa menjadi contohnya.

Pada satu percakapan di televisi itu, Arteria bersikukuh bahwa posisinya mendukung revisi UU KPK adalah manifestasi dari kehendak rakyat karena mayoritas anggota DPR yang dipilih oleh rakyat setuju dengan hal itu.

Emil Salim menggugat apakah anggota dewan bisa mengklaim wakil rakyat jika pemilu diliputi politik uang untuk memenangkan suara pemilih? Perdebatan itu kemudian mengalami kebuntuan yang berujung kecaman pada Arteria yang dinilai kasar.

Namun pertanyaannya, benarkah sesederhana itu persoalannya? Tidakkah di televisi seringkali orang memang mencari pembenaran dibanding kebenaran? Lebih jauh, tidakkah kita mendapati bahwa seringkali perebedaan tajam sering terjadi antara mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan dan mereka yang berada di luarnya?

Dalam nada satir, Mahfud MD, sebelum menjadi menteri, pernah berkata, “malaikat pun akan menjadi iblis jika masuk sistem kita”.

Uraian itu disampaikan Mahfud pada tahun 2013 untuk mengomentari pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi bahwa 50 persen atau 278 kepala daerah kita terlibat korupsi.

Bagaimana pandangan Mahfud ini dapat dijelaskan?


Pandangan filsuf dan sosiolog Perancis Pierre Bourdieu dapat membantu menjelaskannya lewat teorinya tentang arena yang dikenal sebagai “field theory”.

Inti argumennya adalah bahwa bahwa arena merupakan satu lokus yang memiliki logikanya sendiri yang akan membentuk dan mempengaruhi tindakan sosial dari subyek yang ada di dalamnya.

Karena setiap aktor bergerak menurut logika arenanya masing-masing dan melihat dari sudut pandang arenanya itu, maka tak heran jika mereka melihat dengan cara yang berbeda dan menginternalisasi satu habitus yang berbeda pula.

Dalam hal ini, Bourdieu membagi arena dalam kategori arena akademik, arena politik , dan arena jurnalistik.

Lantas, karena setiap aktor cenderung melihat masalah dalam persepktif mereka yang sempit, maka satu wadah yang bisa menjadi jembatan agar orang-orang yang berasal dari arena yang berbeda-beda itu untuk saling bertemu dan berdialog menjadi penting.

Meminjam ide Habermas, dialog merupakan metode untuk menemukan rasio komunikatif. Dialog membangun saling pengertian, menstimulasi pemikiran kritis dan menghadirkan ide-ide baru yang segar.

Pertama-tama untuk merumuskan masalah konsolidasi demokrasi yang kita hadapi dengan dingin, jujur, tanpa tergesa. Termasuk mempertanyakan apa yang kita anggap normal dan tidak normal dalam peradaban politik kita.

Dan benar adanya. dalam Sekolah Demokrasi yang berlangsung selama tiga hari dari mulai 15-17 Februari itu, jelas ada kesamaan di antara para elemen masyarakat dari berbagai latar belakang itu. Mereka sama-sama merasakan keresahan atas proses demokrasi yang sedang berjalan.

Salah satu keresahan kolektif yang muncul misalnya masalah politik uang. Seorang politisi menyampaikan keprihatinannya atas masalah politik uang dalam pemilu.

"Masalah utama demokrasi kita adalah biaya politiknya yang sangat mahal. Banyak orang baik tidak jadi pemimpin dalam pemilu karena tingginya biaya politik. Dalam pemilu apa saja, baik itu legislatif maupun eksekutif,” ujarnya.

Hal ini segera diamini oleh seluruh peserta lain.

Pertanyaannya kemudian, jika semua elemen progresif bangsa ini ternyata muak dengan politik uang, lantas mengapa kita tidak bersama-sama mengakhirinya? Pada momen itu, seorang pemateri yang sekaligus peserta Sekolah Demokrasi, Faisal Basri, membagikan pengalamannya.


Dia menuturkan, dia pernah berhasil maju sebagai calon independen pada Pilkada DKI Jakarta tanpa melakukan serangan fajar. Dia justru mendapat banyak sumbangan.

Benar bahwa dia kalah pada akhirnya, namun dia berhasil memperolah suara lebih besar dari calon yang diajukan partai besar yang dominan sejak Orde Baru. Inspirasi ini menjadi penyemangat bagi para aktor politik lainnya. Setidaknya, politik gagasan pernah berhasil mendapatkan simpati publik.

Namun masalah politik uang tentu bukan satu-satunya masalah yang dibahas pada hari-hari itu. Meskipun demikian, dapat disampaikan di sini bahwa sekolah demokrasi melahirkan dialog yang menstimulasi gagasan kreatif untuk menyadari bahwa politik yang yang dianggap normal itu sebenarnya abnormalitas dalam peradaban politik kita.

Bahwa minimnya kreativitas dan imajinasi politik yang transformatif bagi kebuntuan masalah-masalah demokrasi yang kita hadapi adalah problem yang sesungguhnya.

Berikutnya tentu saja adalah keyakinan dan keberanian untuk mewujudkan gagasan dan imajinasi itu menjadi tindakan nyata menuju terciptanya satu habitus politik yang baru demi mendorong konsolidasi demokrasi.

https://nasional.kompas.com/read/2020/05/07/15464471/membangun-jembatan-refleksi-dari-sekolah-demokrasi-lp3es

Terkini Lainnya

'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke