Pasalnya, dalam draf rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, persetujuan terkait urusan bangunan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Padahal, sebelumnya, hal itu berada di ranah pemerintah daerah.
"Umumnya praktik di daerah adalah kalau yang ngasih izinya itu adalah level pemerintahan yang lain, itu dia (daerah) nggak mau ngawasi, meskipun itu ditugaskan, nggak mau dia," kata Robert dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020).
"Kan yang menentukan itu dikasih tidak (persetujuannya) kan yang memberikan izin, yang punya otoritas. Gimana mungkin dia (daerah) mau menyelesaikan masalah kalau terjadi sesuatu yang itu bukan otoritas dia memberikan izin," lanjutnya.
Draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja Pasal 25 mengatur mengenai bangunan gedung.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa perubahan fungsi bangunan, pengujian bangunan, hingga pelaksanaan konstruksi bangunan harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.
Mekanisme pengawasan bangunan sendiri akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Robert, seharusnya kewenangan pemberian persetujuan bangunan tetap berada di tangan pemerintah daerah.
Sebab, pemda dinilai lebih paham mengenai kesesuaian lahan yang akan dibangun gedung.
Sementara itu, pemerintah pusat cukup membuat Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) terkait hal tersebut.
Ketentuan yang ada dalam draf RUU Cipta Kerja sekarang, kata Robert, mengalihkan seluruh kewenangan terkait pengawasan dan persetujuan bangunan ke pemerintah pusat.
"Kalau ini kan gimana cara membacanya itu, persetujuan itu diberikan pusat berarti kan semua mekanisme itu kan oleh pusat," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/02/20/17265721/di-draf-ruu-omnibus-law-pemda-dinilai-sulit-awasi-pembangunan-gedung