Kesembilan alasan itu berangkat dari tiga prinsip buruh yang dianggap KSPI tidak terdapat dalam Omnibus Law RUU tersebut.
Ketiga hal itu adalah job security atau perlindungan kerja, income security atau perlindungan terhadap pendapatan serta social security atau jaminan sosial terhadap pekerjaan.
Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan alasan-alasan tersebut, saat konferensi pers terkait RUU Cipta Kerja di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/2/2020).
Kesembilan alasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hilangnya Upah Minimum
"Dalam RUU Cipta Kerja, ada istilah yang disebut upah per satuan waktu dan per satuan hasil. Upah per satuan waktu adalah per jam, otomatis menghilangkan upah minimum," kata dia.
Tidak hanya itu, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum provinsi (UMP) hanya berlaku di wilayah DKI Jakarta dan D.I Yogyakarta.
Para buruh, kata dia, menggunakan upah dari upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kerja (UMSK).
Namun dalam RUU Cipta Kerja, UMK dan UMSK dihapus dan digantikan UMP.
"Berarti hilang. Kalau tetap dipaksakan UMP, upah yang UMK/UMSK-nya lebih besar dari UMP masa diturunkan (kalau berpatokan hanya pada UMP)," kata dia.
Selain itu, perumusan kenaikan upah minimum juga hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi, tidak ditambahkan inflasi seperti halnya dalam PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Termasuk juga munculnya istilah upah padat karya yang dinilai KSPI sebagai upah minimum di bawah upah minimum.
"Ya jadi tidak ada upah minimum," kata dia.
2. Hilangnya Pesangon
"Pesangon hilang karena UU Cipta Kerja membolehkan outsourcing dan karyawan kontrak bebas sehingga mereka tak perlu pesangon," kata dia.
Namun, kata dia, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah menyebutkan ada uang pemanis selama lima bulan. Menurut KSPI, buruh tak membutuhkan itu.
Para pekerja membutuhkan kepastian kerja dan jaminan sosial.
"Dalam RUU Cipta Kerja, penggantian hak hilang. Penghargaan masa kerja dikurangi. Karena ada istilah upah per jam, pasti tidak dapat pesangon karena pesangon diberikan satu kesatuan hasil," kata dia.
Selain itu, sakit berkepanjangan juga tidak dibayar dan dipecat. Termasuk saat usia pensiun.
3. Penggunaan Outsourcing yang Bebas
Semua jenis pekerjaan dan waktu yang tak terbatas
Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13, terdapat lima jenis pekerjaan yang bisa menggunakan outsourcing, yakni security, cleaning service, transportasi, catering dan pemborongan pertambangan.
"Dalam RUU Cipta Kerja, agen (outsourcing) diakomodasi, dilindungi secara hukum, boleh menjual manusia," kata dia.
4. Jam Kerja Eksploitatif
"40 jam seminggu. Kerja per hari 14 jam jadi boleh. Kalau di UU 13, 7-8 jam," kata dia.
5. Penggunaan Karyawan Kontrak yang Tidak Terbatas
"Berlaku untuk semua jenis pekerjaan, sekarang bisa seumur hidup lamanya," kata dia.
6. Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskilled Workers
Hal tersebut, kata dia, berpotensi untuk penggunaan buruh kasar bebas karena tak perlu izin tertulis dari menteri.
"Ada izin tertulis menteri saja banyak, kalau dihapus makin mudah. Industri startup dan lembaga pendidikan TKA bebas bekerja," kata dia
7. PHK yang Dipermudah
Sebab banyak outsourcing dan karyawan kontrak bebas karena tak ada batas waktu, maka PHK pun dinilai menjadi mudah.
"Dalam seumur hidup boleh dikontrak dan di-outsourcing. Dalam RUU Cipta Kerja, agen outsourcing resmi diberi ruang oleh negara," kata dia.
8. Hilangnya Jaminan Sosial Bagi Pekerja Buruh Khususnya Kesehatan dan Pensiun
"Dengan karyawan kontrak dan outsourcing, tak ada jaminan sosial pensiun. Pekerja yang haid, sakit, dipotong gaji.
9. Sanksi Pidana yang Dihilangkan
Ketiadaan sanksi bagi pengusaha yang tak membayar upah juga menjadi alasan penolakan.
"Tidak ada larangan dan sanksi jika pengusaha membayar di bawah upah minimum karena Pasal 90 UU 13 dihapus. Jadi tidak bayar pun boleh," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/02/16/15353591/ini-9-alasan-kspi-menolak-omnibus-law-cipta-kerja