Salin Artikel

Duduk Persoalan Penghapusan UN dan Klarifikasi Mendikbud Nadiem Makarim

Sebagai gantinya, mereka akan mengikuti asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai syarat kelulusan.

Perubahan sistem penentu kelulusan ini menjadi satu dari empat kebijakan yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim melalui program ‘Merdeka Belajar’.

Gagasan itu bermula dari keresahan siswa, orangtua, dan guru atas pelaksanaan ujian nasional selama ini.

Menurut Nadiem, mereka bukan ingin menghilangkan pelaksanaan ujian nasional, melainkan berharap agar pelaksanaannya dievaluasi karena dianggap banyak berdampak negatif.

“Sebenarnya banyak juga dari mereka yang tidak ingin menghapuskan, tetapi menghindari hal-hal yang negatif, (mulai) dari sisi stres, kayak menghukum siswa yang mungkin dari bidang (UN) itu kurang kuat dan lain-lain," kata Nadiem seusai menjadi pembicara pada Konferensi Pendidikan Indonesia di Gedung Kemendikbud pada 30 November lalu.

Merdeka Belajar

Berangkat dari sana, Kemendikbud kemudian melakukan kajian.

Hingga dalam kurun 11 hari, ia mencetuskan kebijakan ‘Merdeka Belajar’ di hadapan kepala dinas pendidikan seluruh Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Ada empat hal yang akan diatur di dalam kebijakan baru tersebut, yakni terkait penilaian ujian sekolah berbasis nasional (USBN) secara komprehensif, perubahan sistem UN, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan penerapan sistem zonasi yang lebih fleksibel.

Untuk penilaian USBN yang komprehensif, ia menjelaskan, akan dilakukan dengan sistem ujian yang diselenggarakan oleh sekolah.

Ujian itu dilakukan untuk menilai kompetensi siswa dan dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian komprehensif seperti portofolio dan penugasan.

Portofolio ini nanti dapat dilakukan melalui tugas kelompok, karya tulis, maupun sebagainya.

"Dengan itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa," ucap Nadiem.

Nadiem menyampaikan, anggaran USBN nantinya akan dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran.

Sementara pelaksanaan UN pada tahun depan akan menjadi yang terakhir.

Sebagai gantinya, pada tahun 2021 akan dilaksanakan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.

Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan siswa yang berada di tengah jenjang sekolah, misalnya kelas 4, 8, 11, sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemudian, hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.

"Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional, seperti PISA dan TIMSS," kata Nadiem.

Adapun terkait penyederhanaan RPP, Kemendikbud akan menyederhanakan dengan memangkas beberapa komponen.

Nantinya, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, hingga mengembangkan format RPP.

Tiga komponen inti RPP nantinya terdiri atas tujuan dan kegiatan pembelajaran hingga asesmen.

Adapun penulisannya dilakukan secara efektif dan efisien sehingga guru memiliki cukup banyak wkatu untuk mempersiapkan mengevaluasi.

Terakhir, soal membuat zonasi lebih fleksibel saat penerimaan peserta didik baru (PPDB), nantinya akan mempertimbangkan akses dan kualitas di berbagai daerah.

Menurut Nadiem, komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minima 15 persen, dan jalur pindahan maksimal 5 persen.

Sementara 30 persen sisanya diperuntukkan bagi jalur prestasi. Namun, hal itu menyesuaikan kondisi setiap daerah.

Mispersepsi

Kebijakan baru ini pun oleh sebagian disambut antusias. Tak sedikit masyarakat dan kalangan bahkan beranggapan bahwa Nadiem menghapus pelaksanaan UN melalui kebijakan barunya.

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Didi Suprijadi, misalnya, mendukung wacana penghapusan UN tersebut.

Hanya, ia meminta Kemendikbud agar melakukan kajian lebih matang dan mendalam sebelum pelaksanaannya.

"Kalau misal dihilangkan sama sekali dan diganti dengan model lain boleh-boleh saja, tapi dengan catatan, jangan grasa-grusu karena ini kapal besar, orangnya banyak, menyangkut hajat hidup orang hanyak dan sebagainya," ujar Didi seusai diskusi bertajuk ‘Merdeka Belajar Merdeka UN’ di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (14/12/2019).

Dukungan juga diberikan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti.

Menurut dia, untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi sudah tidak diperlukan lagi ujian nasional.

Ia menilai, wacana itu merupakan kabar baik bagi dunia pendidikan karena mendorong siswa untuk belajar, bukan menghafal. Pasalnya, metode UN selama ini justru hanya mendorong siswa untuk menghapal saja.

Jika UN dihapuskan, kata Retno, siswa akan terbiasa belajar menggunakan penalaran dalam belajar.

"Hasil riset menunjukkan bahwa guru-guru di Indonesia itu mengajar dengan pola yang tidak berubah selama 25 tahun terakhir, yaitu dengan cara ceramah, kemudian hafalan, kemudian menggunakan tes pilihan ganda. Itu sendiri kan yang dibangun oleh pemerintah melalui ujian nasional selama ini," ujar Retno dalam sebuah diskusi di kawasan Jakarta Selatan, 12 Desember lalu.

Reaksi sebaliknya disampaikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut dia, penghapusan UN justru akan membuat siswa menjadi lemah.

"Kalau tidak ditantang, tidak diuji, tidak diajak kerja keras. Kan alasannya ada guru, orangtua, murid protes karena susah, sehingga dihapus. Lho, kalau mau bangsa hebat harus melewati hal yang susah," ujar Kalla seusai berbicara di acara Semiloka Nasional bertajuk Refleksi Implementasi Mediasi di Indonesia di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, 12 November lalu.

Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani berharap agar Nadiem tidak terburu-buru dalam mengambil kebijakan dan melakukan kajian yang lebih dalam.

“Kita lihat dan jangan sampai merugikan siswa juga orangtuanya," kata Puan di DPR, Senayan, Jakarta, pekan lalu.

Adapun anggota Komisi X DPR, Putra Nababan, meminta pemerintah agar tidak dengan mudah mengganti sebuah kebijakan ketika sebuah rezim berganti. Ia pun juga meminta Kemendikbud agar menyerahkan cetak biru dari rencana penghapusan UN tersebut.

"Kami minta kepada saudara menteri grand design pendidikan. Jangan ganti menteri, ganti kebijakan, ganti kurikulum grand design-nya," kata Putra dalam diskusi bertajuk "Merdeka Belajar Merdeka UN" di kawasan Menteng, Sabtu (14/12/2019).

Klarifikasi Nadiem

Namun, Nadiem pun segera mengklarifikasi kabar yang beredar soal wacana penghapusan UN.

Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin menghapus, hanya mengubah metode pelaksanaannya dengan sistem penilaian baru.

"Beberapa hal agar tidak ada mispersepsi, UN itu tidak dihapuskan. Mohon maaf, kata dihapus itu hanya headline di media agar diklik, karena itu yang paling laku. Jadinya, UN itu diganti jadi asesmen kompetensi," kata Nadiem dalam rapat bersama Komisi X DPR di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019).

Selain dengan asesmen kompetensi, UN juga akan diganti dengan survei karakter.

Menurut Nadiem, kedua penilaian itu merupakan penyederhanaan dari UN.

Ia pun menegaskan sekali lagi bahwa bahasa yang tepat bukanlah menghapus UN, melainkan mengganti sistem UN.

"Yang dihapus itu adalah format seperti yang sekarang. Yang dihapus itu adalah format per mata pelajaran mengikuti kelengkapan silabus daripada kurikulum," papar dia.

"Diganti, tapi dengan asesmen kompetensi minimum, yaitu hampir mirip-mirip seperti PISA, yaitu literasi, numerasi, plus ada satu survei karakter," kata Nadiem.

Ia pun menjelaskan, ada tiga hal yang menyebabkan pelaksanaan UN saat ini perlu dievaluasi.

Pertama, UN hanya membuat siswa menghafal karena seluruh materi pelajaran dipadatkan untuk diujikan.

“Makanya timbul berbagai kebutuhan untuk bimbel dan lain-lain untuk mencapai angka tinggi,” kata Nadiem di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada 12 Desember lalu.

Kedua, UN menjadi sumber stres bagi siswa, guru, dan orangtua murid. Pasalnya, UN menjadi penentu nilai akhir siswa di masa sekolah.

Terakhir, UN dianggap tidak mampu mengukur kemampuan kognitif siswa. Selain itu, UN juga tidak mampu menyentuh karakter siswa.

"Untuk menilai aspek kognitif pun belum mantap. Karena bukan kognitif yang dites. Tapi aspek memori. Memori dan kognitif adalah dua hal yang berbeda. Bahkan tidak menyentuh karakter, values dari anak tersebut yang saya bilang bahkan sama penting atau lebih penting dari kemampuan kognitif," katanya.

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/16/10161531/duduk-persoalan-penghapusan-un-dan-klarifikasi-mendikbud-nadiem-makarim

Terkini Lainnya

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke