Penyebab teror terhadap polisi, menurut dia, tak cuma karena polisi menggagalkan aksi para teroris.
"Bisa jadi polisi dianggap menggagalkan semua rencana dan misi mereka atau karena perlakuan polisi kepada saudara, kawan, dan sahabat mereka yang terjerat kasus terorisme dianggap tidak manusiawi," ujar Harits kepada Kompas.com, Jumat (15/11/2019).
Ia menyebutkan, perlakuan dalam penanganan polisi terhadap terorisme bisa menjadi pelecut lahirnya dendam.
Sehingga, kata dia, siklus serangan teror selalu menargetkan ke pihak kepolisian.
Untuk meredam gejolak teror tersebut, Harits menyarankan agar pemerintah mengevaluasi komponen terkait dengan program kontra-terorisme dan kontra-radikalisme.
"Perlu pengkajian yang holistik dan obyektif agar menemukan solusi yang ideal," kata dia.
Dengan demikian, pemerintah bisa mereduksi teror kekerasan yang selama ini menyasar pada kepolisian.
"Yang pada akhirnya dapat menekan kontra-terorisme dan kontra-radikalisme yang bias. Dimana hal bias tersebut disadari atau tidak bisa mereproduksi kekerasan dan teror-teror dikemudian hari," tuturnya.
Diberitakan, seorang pria yang mengenakan jaket berlogo ojek online melakukan bom bunuh diri di halaman Mapolrestabes Medan, Rabu pagi. Pelaku diketahui meninggal dunia di tempat dengan kondisi mengenaskan.
Peristiwa itu juga menyebabkan enam orang menjadi korban luka ringan. Empat orang merupakan personel Polri, satu orang pekerja PHL, adapun seorang lainnya masyarakat biasa.
Berdasarkan hasil olah TKP, tim berhasil mengidentifikasi identitas pelaku. Pria berjaket ojek online yang meledakan diri berinisial RMN, usia 24 tahun.
RMN yang berstatus pelajar/ mahasiswa lahir di Kota Medan, 11 Agustus 1995. Berdasarkan data catatan kependudukan, RMN tinggal di bilangan Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan.
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/15/14055821/polisi-jadi-target-teroris-pengamat-nilai-ada-dendam