"Tidak ada (tidak sepakat). Artinya amendemen untuk yang pasal itu, PKB belum memikirkan. Jadi tidak sampai ke situ perubahannya," ujar Jazilul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/10/2019).
Jazilul menilai, masa jabatan presiden tidak perlu diubah. Harus tetap lima tahun dan menjadi lembaga tertinggi negara.
Ketentuan itu termuat di dalam Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, "presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".
Apabila UUD 1945 hendak diamandemen, lanjut Jazilul, sifatnya harus terbatas. PKB setuju amandemen hanya menyangkut menyangkut kewenangan MPR dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Hal ini, kata Jazilul, sejalan dengan rekomendasi MPR pada periode 2014-2019.
Jika amendemen tidak dilakukan secara terbatas, maka tidak menutup kemungkinan pembahasan akan meliputi hal lain di luar kewenangan MPR menetapkan GBHN.
Misalnya, usul mengenai perubahan masa jabatan presiden ataupun mekanisme pemilihan presiden yang kembali dilakukan oleh MPR.
"Karena dua periode itu sudah cukup untuk presiden, bupati dan jabatan-jabatan eksekutif. Makanya amandemen itu hanya terbatas pentingnya pokok-pokok haluan negara yang menjadi panduan terhadap program dari pemerintah," kata Jazilul.
Pendapat Nasdem dan Gerindra
Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR Johnny G. Plate berpendapat bahwa amendemen UUD 1945 harus dibahas secara komprehensif.
Pasalnya, kata Plate, konstitusi negara Indonesia tidak mengenal istilah amandemen terbatas.
Oleh sebab itu, pembahasan amendemen seharusnya tidak hanya terbatas pada kewenangan MPR menentukan haluan negara, melainkan juga terkait masa jabatan presiden.
"Haluan negara tujuannya untuk apa? Supaya konsistensi pembangunan. Konsistensi pembangunan juga terikat dengan eksekutifnya. Masa jabatan presiden juga berhubungan. Nanti perlu didiskusikan semuanya," ujar Plate di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Plate menilai, penerapan kembali GBHN akan memengaruhi kedudukan dan struktur serta masa jabatan lembaga eksekutif, yakni presiden.
Menurut dia, saat ini telah muncul berbagai pendapat dari masyarakat terkait perubahan masa jabatan presiden.
Ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi 8 tahun dalam satu periode. Ada pula yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi empat tahun dan bisa dipilih sebanyak tiga kali.
Usul lainnya, masa jabatan presiden menjadi lima tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga kali.
"Itu harus didiskusikan. Jadi mendalaminya harus komprehensif tidak sepotong-potong," kata Plate.
Menurut Muzani, tidak menutup kemungkinan pembahasan juga akan mencakup ketentuan lain, misalnya terkait ketentuan pemilihan presiden oleh MPR.
"Sebagai sebuah kemungkinan atau kekhawatiran bahwa itu bisa melebar ke kanan ke kiri saya kira bisa," ujar Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).
"Karena istilahnya begitu GBHN diamandemen menjadi sebuah ketetapan MPR dan masuk dalam UUD, maka kemudian ada sisi lain yang harus dipertimbangkan," tutur dia.
Amandemen UUD 1945 terkait penerapan kembali GBHN merupakan rekomendasi dari MPR periode 2009-2014.
Melalui amandemen, nantinya MPR akan memiliki kewenangan untuk menentukan GBHN yang wajib dijalankan oleh presiden.
Muzani menjelaskan, jika GBHN dihidupkan kembali, maka harus ditentukan tolok ukur sejauh mana seorang presiden telah melaksanakan haluan negara.
Kemudian, dengan kewajiban menjalankan GBHN, posisi presiden akan menjadi mandataris MPR.
"Kalau sudah mandataris MPR berarti presiden dipilih oleh MPR. Sebagai kemungkinan, itu mungkin terjadi, mungkin," kata Muzani.
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/08/15304271/pkb-tak-sepakat-perubahan-masa-jabatan-dan-kedudukan-presiden