Salin Artikel

Riuh "Buzzer" Pendukung Jokowi...

Kegaduhan yang diciptakan buzzer pendukung Jokowi terjadi setelah Presiden menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan DPR. Para buzzer mati-matian membela kebijakan Jokowi yang tidak populer karena dianggap melemahkan KPK itu.

Sebagian buzzer bahkan menuding ada kelompok Taliban di KPK. Misalnya akun @Billray2019 yang menyatakan "Jokowi Tidak Membunuh KPK. Selamat tinggal taliban di KPK. Kalian kalah lagi, kalian kalah lagi."

Pernyataan tersebut diunggah pada 13 September pukul 10.03 WIB. 

"Isu radikalisme, yakni isu Taliban ini sering dan sukses dipakai oleh buzzer yang bertujuan agar publik ragu terhadap KPK dan menyetujui agar revisi disahkan dan berharap capim terpilih bisa membersihkan isu itu," ujar analis media sosial dan digital dari Universitas Islam Indonesia (UII), Ismail Fahmi.

Selain itu, ada juga buzzer yang menggiring opini pro-revisi UU KPK dengan model giveaway.

Buzzer tersebut menciptakan opini publik di media sosial, khususnya Twitter, dengan memberikan ganjaran voucher berupa pulsa hingga saldo elektronik, seperti OVO dan Go-Pay sebanyak Rp 50.000 kepada dua warganet terpilih dengan membalas dan me-retweet kicauannya sebanyak-banyaknya.

"Jadi yang penting adalah tagarnya. Ketika tagar itu masuk dan jadi trending topic di Twitter, yang penting muncul. Itu jadi alat atau tools mereka untuk memanipulasi publik," papar Ismail.

Unjuk rasa

Keriuhan berlanjut saat mahasiswa dan pelajar melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, yang salah satunya untuk menolak revisi UU KPK.

Para buzzer mencoba mendelegitimasi gerakan itu melalui berbagai unggahan. Bahkan ada sejumlah kicauan yang mengarah pada disinformasi.

Akun @Dennysiregar7, misalnya, berkicau soal ambulans yang merawat korban kerusuhan setelah aksi unjuk rasa berujung ricuh pada 26 September 2019.

Saat itu Denny mencuit, "Hasil pantuan malam ini..Ambulans pembawa batu ketangkep pake logo @DKI Jakarta," tulis Denny sambil mengunggah sebuah video.

Namun, di video tak terlihat bahwa ambulans itu membawa batu. Belakangan akun NTMC Polda Metro Jaya juga mengunggah video serupa, tetapi menghapusnya beberapa menit setelah diunggah.

Polisi lalu mengklarifikasi bahwa ambulans itu datang ke lokasi tidak membawa batu seperti yang dituduhkan. Namun, versi polisi, batu yang ada di di ambulans itu merupakan milik demonstran yang berlindung.

Selain soal polemik batu di ambulans, ada juga tangkapan layar chat pelajar SMK (STM). Tangkapan layar yang diunggah sejumlah akun pendukung Jokowi itu menunjukkan sebuah grup WhatsApp di mana anak-anak STM mengeluhkan kondisi mereka yang mengikuti demo, tetapi tidak mendapat bayaran.

Kendati demikian, warganet yang mengecek nomor di grup tersebut dengan aplikasi Get Contact dan True Caller justru menemukan fakta lain. Warganet menduga nomor-nomor yang seolah mengatasnamakan anak STM itu justru adalah nomor polisi.

Namun, kepolisian membantah ada oknum polisi terlibat merekayasa percakapan anak STM ini.

Istana angkat bicara

Riuh para buzzer membuat pihak Istana Kepresidenan angkat bicara.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut para buzzer pendukung Presiden Jokowi di media sosial tidak dikomando.

Menurut Moeldoko, para buzzer pembela pemerintah itu merupakan para relawan dan pendukung fanatik Presiden Jokowi saat kontestasi Pilpres 2014 dan 2019.

"Kan ini kan, yang mainnya dulu relawan sekarang juga pendukung fanatik. Jadi memang buzzer-buzzer yang ada itu tidak dalam satu komando, tidak dalam satu kendali. Jadi masing-masing punya inisiatif," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (3/10/2019).

Moeldoko pun membantah jika Kantor Staf Kepresidenan yang dipimpinnya justru dituding mengomandoi para buzzer pendukung Jokowi. Menurut dia, itu hanya isu yang tidak berdasar.

"Oh tidak, tidak sama sekali. Kami, justru kami KSP itu mengimbau, 'Sudah kita jangan lagi seperti itu'," kata Moeldoko.

Moeldoko pun sependapat jika para buzzer di media sosial perlu ditertibkan. Namun hal ini berlaku ke semua pihak bukan hanya untuk buzzer pemerintah.

Mantan panglima TNI ini menilai para pendengung tetap bisa membela idola mereka tanpa harus menyerang atau menjelek-jelekkan lawan politik. Cukup dengan memilih diksi yang tepat.

"Buzzer-buzzer itu harus ditinggalkanlah. Pemilu juga sudah selesai. (Gunakan) Bahasa-bahasa persaudaraan, kritik, sih, kritik tapi tidak harus dengan bahasa-bahasa yang kadang-kadang enggak enak juga didengar," ucapnya.

Moeldoko melihat justru saat ini, para buzzer pendukung Jokowi justru melakukan cara-cara yang bisa merugikan pemerintahan Jokowi sendiri. Ia pun meminta buzzer-buzzer Presiden Jokowi di sosial media untuk tidak terus-menerus menyuarakan hal-hal yang justru bersifat destruktif.

"Dalam situasi ini relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran. Yang diperlukan adalah dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif," kata Moeldoko.

https://nasional.kompas.com/read/2019/10/07/10040881/riuh-buzzer-pendukung-jokowi

Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke