"Kami mempelajari, dari (karhutla) 2015 sampai sekarang, penegakan hukum yang kami lakukan baru bisa menunjukkan shock therapy, efek kejut saja belum pada efek jera jangka panjang," ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLHK Rasio Ridho Sani dalam acara Forum Merdeka Barat (FMB) 9 di Kantor KLHK, Selasa (1/10/2019).
Hal tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab mengapa ada perusahaan yang sama mengulangi perbuatannya melakukan pembakaran lahan.
Menurut Rasio, hal tersebut berkaitan dengan budaya kepatuhan yang juga tak dijalankan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Oleh karena itu, KLHK pun mencoba mencari inovasi dan terobosan untuk memperkuat efek jera.
"Salah satunya perluasan penindakan dengan pelibatan bupati, wali kota selaku pemberi izin sehingga mereka berada terdepan dalam penegakan hukum ini," kata dia.
Sebab, pemerintah daerah (pemda) adalah pemberi izin terhadap perusahaan-perusahaan itu, maka mereka juga memiliki kewenangan seperti kementerian untuk menjatuhi sanksi administratif atau memidanakannya.
Selain itu, agar semakin memberi efek jera, pihaknya juga melakukan pidana tambahan dengan menerapkan Pasal 88 tentang penerapan pertanggungjawaban mutlak oleh perusahaan-perusahaan di lokasi pembakaran dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Namun, hal tersebut dianggap tak cukup sehingga pihaknya juga perlu melakukan pendekatan forensik dan memanfaatkan data-data satelit yang dilakukan oleh ahli hukum serta ahli spasial forensik yang dimiliki KLHK.
Diketahui, ada beberapa perusahaan yang mengulangi perbuatannya membakar hutan dan lahan pada kejadian karhutla tahun 2019 ini.
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/01/18534971/klhk-akui-penegakan-hukum-pelaku-karhutla-baru-beri-efek-kejut-belum-efek