Namun, menurut dia, sejumlah pasal dalam RUU KKS masih perlu dibahas kembali.
"Kalau menurut saya dunia siber ini pada prinsipnya perlu di-update. Ketika kita mau mengatur dunia siber ini kita perlu aturan," kata Pratama saat ditemui di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Pratama mengatakan, sejumlah pasal dalam RUU KKS terkait wewenang Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) tumpang tindih dengan wewenang institusi lain, terutama dengan Badan Intelijen Negara (BIN).
Oleh karena itu, DPR perlu mengundang para stakeholder atau pihak terkait untuk membahas RUU tersebut. Dengan demikian, akan ada regulasi yang memberikan perlindungan di dunia siber.
"Misalnya pada Badan Intelijen Negara (BIN) dengan Kepolisian Republik Indonesia, TNI kemudian para pelaku usaha banyak lagi yang diajak bicara (bahas RUU KKS). Sehingga kita mendapatkan UU yang memang bisa memfasilitasi mengamankan rakyat Indonesia dari ancaman-ancaman siber," ujar dia.
Selanjutnya, Pratama menyoroti wewenang BSSN pada Pasal 14 dalam RUU KKS. Pasal itu mengatur lembaga penyelenggara keamanan dan ketahanan wajib melaporkan setiap insiden ancaman siber ke BSSN.
Pasal 14 itu, kata dia, akan bertabrakan dengan tugas BIN. Sebab, BIN hanya wajib melaporkan setiap kejadian kepada presiden.
"Ini dilematis, BIN hanya wajib lapor kepada presiden. Artinya kalau misalkan BIN nanti mengoneksikan sistemnya ke BSSN, dia melanggar UU Intelijen dong," ujar Pratama.
"Harusnya cuma memberikan report kepada presiden. Nah sedangkan kalau dia tidak mengkoneksikan ke BSSN bisa melanggar UU Siber," kata dia.
Adapun, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber merupakan inisiatif DPR. RUU Keamanan dan Ketahanan Siber diketahui menggantikan RUU tentang Persandian yang ada di dalam Prolegnas periode 2015-2019.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/18023741/dpr-dinilai-perlu-bahas-ruu-kks-dengan-bssn-dan-bin