Maka dari itu, ia berharap UU Pilkada bisa direvisi secara cepat oleh pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu.
"Banyak yang perlu diperbaiki dalam UU Pilkada. Soalnya, UU Pilkada sudah jauh ketinggalan dibandingkan UU Pemilu," ujar Veri saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Veri mencontohkan, UU Pilkada yang masih jadi persoalan yakni terkait lembaga Panwas Kabupaten/Kota. Adapun Pilkada 2020 akan dilaksanakan 23 September.
"Pembentukan Panwas Kabupaten/Kota dinilai sudah tidak relevan karena saat ini sudah ada Bawaslu Kabupaten/Kota. Panwas bersifat adhoc atau sementara, sedangkan Bawaslu adalah badan yang permanen. Lembaganya sudah terbentuk sejak pemilu 2019," ujar Veri.
Diketahui, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pengawas pemilihan adalah badan ad hoc bernama panitia pengawas.
Ketentuan ini berbeda dengan UU nomor 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur pengawasan pemilihan adalah Bawaslu yang dibentuk secara permanen hingga kabupaten/kota.
Adapun pelaksanaan Pilkada serentak 2020 mengacu pada UU Pilkada sehingga pembentukan lembaga pengawas harus diulang, berikut perekrutan anggotanya.
"Kemudian soal keanggotaan, di mana jumlahnya maksimal tiga orang. Padahal Bawaslu Kabupaten/Kota banyak yang anggotanya lima orang. Pun demikian dengan Bawaslu Provinsi sehingga Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat merasa perlu untuk menggugat mengingat anggota Bawaslu Provinsi di Pemilu 2019 adalah 5-7 orang, bukan tiga orang," jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, terdapat juga perbedaan mendasar terkait dengan kewenangan Bawaslu.
Mengacu pada UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu berwenang melakukan sidang ajudikasi dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap serta mengikat untuk setiap pelanggaran administrasi pemilu yang disidangkan.
Sedangkan di dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, Bawaslu hanya berwenang memberikan rekomendasi dari pelanggara administratif pemilu.
"Hal itu berpotensi menimbulkan konflik di sebagian kelompok masyarakat yang selama ini telanjur menganggap sejumlah dugaan pelanggaran bisa diputuskan sanksinya oleh Bawaslu," tuturnya kemudian.
Perbedaan pengaturan itu, seperti diungkapkan Veri, menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurutnya, salah satu cara menyelesaikan persoalan itu melalui pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi atau penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Adapun Veri kini menjadi kuasa hukum dari Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat Surya Efitrimen, Ketua Bawaslu Kota Makassar Nursari, dan Ketua Bawaslu Kabupaten Ponorogo Sulung Muna Rimbawan yang mengajukan uji materi perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Adapun dalam uji materi ini, para pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat 1 dan 3, serta Pasal 24 UU Pilkada.
Dalam ketentuan itu, desain kelembagaan pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota masih berbentuk panitia pengawas (panwas) yang bersifat ad hoc (sementara).
Pemohon juga mempersoalkan ketentuan jumlah pengawas sebanyak tiga orang sebagaimana diatur dalam UU Pilkada.
Menurut pemohon, sejak berlakunya UU 7 tahun 2017, jumlah pengawas di tingkat kabupaten/kota yang telah diangkat menjadi Bawaslu bisa mencapai lima orang.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/17/17063451/persoalan-uu-pilkada-yang-perlu-diperbaiki